Membuka kran impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk urusan daging sapi sangat tepat. Tak ada negara yang sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan perut rakyatnya sendiri. Secara teori kebijakan impor dibuat bukan sekedar memenuhi kebutuhan tetapi juga meredam gejolak harga yang biasanya menjulang tinggi.
Sayangnya, negara sering puas dengan kebijakannya dan tertidur saat otoritas pasokan kebutuhan daging diserahkan ke pelaku usaha. Padahal saat negara hanya mampu menyediakan kebutuhan minimal, negara belum bisa sepenuhnya menyerahkannya pada “mekanisme pasar.” Posisi negara yang lemah atas sebuah produk yang menjadi kebutuhan pokok rakyatnya harus banyak melakukan evaluasi dan sesering mungkin melakukan intervensi.
Mengapa? Karena godaan kekuasaan yang dimiliki pelaku usaha sering lahir dari lalainya negara melakukan evaluasi dan intervensi. Sejumlah kasus di mana barang-barang menumpuk di pelabuhan menjadi salah satu cara penghentian pasokan dan penumpukan barang agar poduk tersebut hilang di pasaran.
Kini saatnya negara membuka mata lebar-lebar atas atas semua kebutuhan pokok yang berbasis impor. Gula, garam, bawang putih, BBM, daging sapi dan sebagainya punya potensi yang sama dan punya masalah yang sama tentang kelangkaan dan harga. Negara konsumen seperti Indonesia bisa diibaratkan raja yang dikudeta. Saat kebijakan impor tak mudah dikeluarkan hampir semua negara yang memiliki produk berusaha merayunya. Bahkan mereka menerapkan prinsip “pembeli adalah raja”. Namun ketika uang atau wewenang sudah berpindah, gelar raja hanya berlaku dalam sesaat. Hari-hari yang panjang sang raja menjadi sandera dan pesakitan.
Kita butuh pemimpin atau presiden yang mampu membaca sejarah kelangkaan dan sejarah kejahatan atas produk yang menjadi kebutuhan pokok rakyat. Sehingga ia cepat bereaksi dan harusnya melakukan antisipasi jauh sebelum teriakan rakyat menjadi ancaman.
Kita juga butuh pemimpin yang cepat melakukan langkah dan tindakan agar rakyat tahu bahwa mereka masih punya Presiden yang bisa memecahkan masalahnya. Jika tidak, akan muncul banyak Samiri, si pembuat sapi emas, yang tak sabar menunggu kepastian wahyu dari Nabi Musa. Tindakan Samiri, meski bisa jadi melawan hukum namun diikuti oleh rakyat yang sudah tidak sabar membutuhkan kepastian Nabi Musa sebagai pemimpinnya.
Dalam banyak situasi, saat pemimpin atau Presiden lambat bertindak, Samiri-samiri yang berusaha menawarkan alternative berdatangan. Bukan salah mereka jika kemudian langkah yang bisa jadi melawan hukum dilakukan. Namun apapun kondisinya seorang pemimpin harus hadir di tengah masalah rakyatnya. Bukan pemimpin yang ikut-ikutan galau saat melihat rakyat yang memilih dan memujanya tengah galau. Apalagi jika galau karena sapi, engga keren kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H