Mohon tunggu...
Kayla Mary Susanto
Kayla Mary Susanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - We write to taste life twice, in the moment and in retrospection.

We write to taste life twice, in the moment and in retrospection.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pendekatan Mimetik dalam Novel Gairah untuk Hidup dan untuk Mati

28 Februari 2022   20:58 Diperbarui: 28 Februari 2022   21:00 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pendekatan Mimetik dalam Novel Gairah untuk Hidup dan untuk Mati

  1. Tesis dan Pengenalan Novel

Pertamanya, pendekatan mimetik dalam kritik sastra merupakan salah satu metode yang paling kuno dan berlandaskan keterkaitan sastra tersebut dengan realitas dunia sekarang atau pada masa lampau. Realita kehidupan seakan direkayasa dan disalurkan sisi emosional dan sentimentalnya melalui kata-kata yang dikemas sedemikian rupa membentuk karya tulis seperti puisi atau novel. Sedemikian pada kesempatan kali ini, akan dikaji sebuah novel karya Nasjah Djamin, seorang sastrawan dan seniman yang menulis Gairah untuk Hidup dan untuk Mati, sebuah novel yang berlatar di Jepang, tempat ia pernah memiliki pengalaman bekerja. Tak hanya itu, pada novel disentuh isu-isu bunuh diri yang mengakar pada masyarakat Jepang, dimana Nasjah Djamin memperlihatkan isu-isu ini dari lensa seseorang yang berasal dari Asia Tenggara. 

Dalam novelnya, diceritakan mengenai seseorang bernama Talib, mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Jepang. Salah satu rutinitas Talib, adalah meminum sake ( ) dan whisky dengan temannya, Shimada-sang sambil berbagi cerita. Suatu hari, Shimada-sang tiba-tiba menghilang dan Talib tak bisa menemukannya. Sambil merenungkan kepergian temannya, Talib membaca koran dan menemukan cerita mengenai percobaan bunuh diri suatu wanita. Wanita tersebut ditemukan tak sadarkan diri di dekat sebuah tumpahan pil, dan menariknya lagi, di sebelahnya ada seorang pria ditemukan meninggal dengan tikaman di perut. 

Tiba-tiba pada suatu malam musim semi, Shimada-sang membawa sebotol besar Suntory Whisky sambil mengajak Talib minum bersama. Setelah meneguk begitu banyak alkohol, Shimada-sang mulai menceritakan kisah hidupnya, mulai dari ayahnya yang meninggal akibat harakiri saat Perang Dunia ke-2 dan bagaimana ibunya juga bunuh diri karena tak bisa menanggung malunya bekerja sebagai pelacur. Shimada-sang menangis sambil menceritakan bahwa kakaknya mencoba membunuh diri pula setelah tak sengaja membunuh seorang pria berhidung belang. Talib pun kaget dan tersadarkan bahwa selama ini, gadis Jepang yang berada di berita-berita tersebut adalah Yuko-ciang kakak kandung dari teman dekatnya sendiri.

  1. Argumentasi

Sedikit demi sedikit misteri mengenai tragedi mengenaskan yang menimpa Yuko-ciang terjelaskan dalam bagian-bagian berikutnya dari novel inil. Sedemikian, novel ini mulai menspesifikasikan bagaimana kerasnya hidup di Jepang, mulai dari tuntutan dari masyarakat, bagaimana individualisme menciptakan suasana represif kepada kepribadian orang Jepang, dan perbandingan masyarakat Jepang dengan Indonesia. Semua hal ini digambarkan lewat dengan fragmen-fragmen kehidupan Yuko-ciang serta dengan reaksi Talib sebagai seseorang yang belum 100% bisa memahami isu-isu Jepang dengan bunuh diri dan sebagainya. 

Dimana penggambaran keadaan keluarga Shimada-sang menunjukkan bahwa di Jepang ada tuntutan yang besar dari masyarakat. Memang benar, masyarakat Jepang sangat menuntut Mei Yo ( ), atau kehormatan. Berasal dari tradisi samurai  Jepang yang bernama Bushido ( ), atau yang bisa diartikan sebagai tata cara seorang ksatria, 7 prinsip kehidupan yang dimuat pada Bushido (Nitobe Inazo, 1899: 10-15) ini sendiri, masih sangat relevan di masyarakat Jepang. Novel ini menunjukan hal tersebut, dimana difokuskan kepada kehormatan, dimana novel ini langsung dimulai dengan bagaimana kedua orang tua Shimada-sang bunuh diri untuk mempertahankan kehormatannya. 

Sedemikian muncul pula sebuah pernyataan mengenai Bushido bagian Mei Yo yang dirilis Nitobe Inazo, seorang politisi Jepang, "Shame is like a scar on a tree - rather than disappearing, it grows with time." Pernyataan ini bisa diartikan sebagai, "Malu akibat kesalahan itu seperti luka pada pohon, bukannya menghilang, namun akan bertumbuh seiring waktu."  Hal ini semakin menguatkan relevansi Bushido dan seppuku ( ), atau ritual bunuh diri. Dimana bagi orang Jepang, membuat sebuah kesalahan besar itu tak bisa diperbaiki, dan bahkan akan diperparah oleh waktu. Bisa disimpulkan bagi masyarakat Jepang, mencoreng kehormatan lebih memalukan dibanding meninggal. Ini pun ditunjukkan di bab-bab terakhir dari novel yang banyak menyentuh mengenai bunuh diri di Jepang, pada kalimat seperti berikut, "Apakah ini termasuk tradisi dari zaman ke zaman, aku tak tahu pasti, tapi cerita-cerita klasik Bunraku, Kabuki dan lain-lainya hampir rata-rata menggarap bunuh diri, seppuku atau harakiri." 

Selain itu, dijelaskan pula mengenai giri ( ), sebuah nilai sosial dalam masyarakat Jepang yang merupakan sebuah kewajiban yang mengikat seseorang dengan orang yang lainnya. Dijelaskan pada buku, "Apakah yang membuat seorang siswa yang tidak lulus ujian masuk universitas, tiba-tiba memutuskan nyawanya dan meninggalkan secarik kata ''Ibu maafkanlah aku. Aku sudah membikin malu dan gagal?" Karena ikatan kewajiban dan harga dirinya yang tak sanggup memenuhi cita-cita ibunya yang dengan susah payah menabung untuknya!". Sedemikian semua kalimat rincian ini semua mencerminkan bagaimana tekanan masyarakat Jepang yang berbentuk dalam Bushido, seppuku dan giri, menghasilkan sebuah masyarakat yang saling menuntut dan saling dituntut untuk tidak membuat kesalahan (Wataru Tsurumi, 1993:34). Bisa dilihat saja, dilansir dari CNN Asia, pada bulan Oktober 2020 sendiri, tercatat ada 2.153 jiwa yang terenggut nyawanya akibat bunuh diri. Angka ini bahkan mengalahkan jumlah pasien Covid-19 yang meninggal pada bulan itu, yakni 2.087 orang. 

Novel ini juga sepertinya mengkritik bagaimana masyarakat Jepang terlalu represif terhadap perasaannya sendiri, dan sengaja memendam perasaan mereka. Ditunjukkan pada kalimat seperti. "Setiap orang menyia-nyiakan hidupnya dan menghukum dirinya pada sesuatu, merasa bersalah dan celaka dan ingin mati, padahal ini adalah satu sikap yang tidak memiliki kesanggupan untuk hidup. Itu semua adalah sikap lemah, dan orang yang lemah tidak bisa merdeka jiwanya!". Hal ini memang benar merupakan semacam cerminan akan bagaimana sifat represif masyarakat Jepang membawa mereka kepada perasaan depresi, apalagi sejak krisis-krisis finansial. Belum lagi, kesehataan mental juga masih dianggap tabu di Jepang (dianggap sebagai kelemahan), bahkan mencapai ke titik dimana sekarang Jepang kekurangan psikiater profesional. Hal ini semakin mendorong tindakan bunuh diri yang tadinya memang merupakan kecenderungan yang mengakar pada Bushido, pada tahun 2014-2015 sendiri, setiap harinya, sekitar 70 orang melakukan bunuh diri di Jepang. 

Terakhir, adalah perbandingan antara masyarakat Jepang dan Indonesia dalam persoalan mengenai kecenderungan saat menghadapi masalah, dimana dibahas beberapa kebiasaan yang tertanam dalam kedua masyarakat. Mengawali perbandingan, novel ini membawa mengenai jiwa perjuangan yang dimiliki Indonesia saat dijajah. "Coba bila setiap manusia Indonesia bersikap demikian menghadapi penaklukan-penaklukan Belanda selama tiga setengah abad yang lalu, Indonesia tidak berpenduduk lagi. Yang penting, ialah bagaimana terus hidup. Dan kau tentu juga tahu bagaimana kami hidup sebagai bangsa budak di bawah kekuasaan Belanda, tapi kami tidak putus asa." Kalimat ini menjadikan perbandingan bagaimana seorang pejuang di Indonesia tidak semudah itu putus asa seperti para pejuang di Jepang (Samurai). 

Pejuang di Indonesia pada saat itu tidak memiliki semacam Bushido, namun memiliki gairah hidup yang menyala, dimana ada semangat untuk hidup. Sesuai dengan sejarah bangsa, banyak sekali perang perjuangan dan gerilya yang terjadi di Indonesia, seperti Perang Diponegoro (1825-1830), Bandung Lautan Api (24 Maret 1946), Pertempuran Surabaya (10 November 1945) dan banyak lagi lainnya. Dimana semua perang ini memperjuangkan Indonesia untuk merdeka. Ditunjukkan dengan banyaknya perang, bisa dilihat masyarakat Indonesia tak pernah menyerah, dan tetap bersemangat untuk melanjutkan perang perjuangan.

Perbandingan yang dibuat oleh tokoh utama Talib ini pun mencerminkan judul dari novel, yakni "Gairah untuk Hidup dan untuk Mati", dimana masyarakat Jepang kesulitan mencari gairahnya untuk hidup, dan malah memiliki gairah untuk mati. Sedangkan masyarakat Indonesia memiliki gairah dan semangat tinggi terhadap hidupnya dan kemerdekaan jiwanya. Kedua masyarakat memiliki tradisinya masing-masing yang sangat berbeda satu sama lain. Dimana novel ini mengeksplorasi keduanya dengan memberikan gambaran rinci akan pola pikir dari masyarakat Jepang dan Indonesia.

  1. Penegasan Ulang dan Penutup

Novel "Gairah untuk Hidup dan untuk Mati" menggunakan pola bahasa yang unik, dimana hampir semua bagian dari novel menyebut istilah-istilah Jepang. Dimana pengetahuan tambahan mengenai budaya Jepang dibutuhkan bagi para pembaca, jika benar-benar ingin memaknai segala bagian dari masyarakat Jepang. Namun, apabila pembaca sudah mengenali sedikit demi sedikit mengenai beberapa pilar dari pola pikir masyarakat Jepang, pemikiran pembaca bisa diperjelas kembali dengan membaca novel ini. Sebagai novel yang banyak menyentuh isu sensitif mengenai kesehatan mental, novel ini kurang cocok dibaca oleh orang-orang yang merasa tidak nyaman dengan isu-isu tersebut. Namun diluar itu, novel ini bisa memberikan pembaca informasi mengenai isu bunuh diri di Jepang dan mengenai sifat represif yang dimiliki oleh masyarakat di Jepang, sehingga baik untuk dibaca bagi orang-orang yang tertarik dengan sisi gelap dari masyarakat Jepang.

Sebagai penutup, novel "Gairah untuk Hidup dan untuk Mati" merupakan sebuah novel klasik yang tentunya bisa dikategorikan sebagai salah satu karya Nasjah Djamin yang eksperimental. Sentuhan pandangan orang-orang dari Asia Tenggara terhadap fragmen-fragmen kepedihan hidup yang dialami masyarakat Jepang merupakan bagian-bagian novel yang tak terlupakan. Bahkan, novel ini secara akurat bisa menggambarkan sisi gelap dari masyarakat Jepang yang dipenuhi dengan sifat represif dan kecenderungan bunuh diri di tengah tuntutan masyarakat mereka sendiri. Sedihnya pula, semua kecenderungan ini sulit untuk ditinggalkan akibat sejarah yang mengakar pada masyarakat mereka berkat Bushido. Novel ini bahkan memberikan perbandingan antara masyarakat Jepang dan Indonesia dengan sentuhan yang unik. Sedemikian, kekuatan novel ini berada pada kehebatannya dalam mengangkat isu-isu sensitif dan aktual, sekaligus menuangkan hal-hal tersebut dalam sebuah karya sastra yang menarik untuk dibaca. 

"Memasuki mati dengan kepercayaan dan cinta, lebih berharga daripada terus hidup tanpa itu. Bila kita berani hidup, kita juga harus berani mati."

  • Nasjah Djamin, Gairah untuk Hidup dan untuk Mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun