Mohon tunggu...
Kayla Mary Susanto
Kayla Mary Susanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - We write to taste life twice, in the moment and in retrospection.

We write to taste life twice, in the moment and in retrospection.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pendekatan Mimetik dalam Novel Gairah untuk Hidup dan untuk Mati

28 Februari 2022   20:58 Diperbarui: 28 Februari 2022   21:00 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Terakhir, adalah perbandingan antara masyarakat Jepang dan Indonesia dalam persoalan mengenai kecenderungan saat menghadapi masalah, dimana dibahas beberapa kebiasaan yang tertanam dalam kedua masyarakat. Mengawali perbandingan, novel ini membawa mengenai jiwa perjuangan yang dimiliki Indonesia saat dijajah. "Coba bila setiap manusia Indonesia bersikap demikian menghadapi penaklukan-penaklukan Belanda selama tiga setengah abad yang lalu, Indonesia tidak berpenduduk lagi. Yang penting, ialah bagaimana terus hidup. Dan kau tentu juga tahu bagaimana kami hidup sebagai bangsa budak di bawah kekuasaan Belanda, tapi kami tidak putus asa." Kalimat ini menjadikan perbandingan bagaimana seorang pejuang di Indonesia tidak semudah itu putus asa seperti para pejuang di Jepang (Samurai). 

Pejuang di Indonesia pada saat itu tidak memiliki semacam Bushido, namun memiliki gairah hidup yang menyala, dimana ada semangat untuk hidup. Sesuai dengan sejarah bangsa, banyak sekali perang perjuangan dan gerilya yang terjadi di Indonesia, seperti Perang Diponegoro (1825-1830), Bandung Lautan Api (24 Maret 1946), Pertempuran Surabaya (10 November 1945) dan banyak lagi lainnya. Dimana semua perang ini memperjuangkan Indonesia untuk merdeka. Ditunjukkan dengan banyaknya perang, bisa dilihat masyarakat Indonesia tak pernah menyerah, dan tetap bersemangat untuk melanjutkan perang perjuangan.

Perbandingan yang dibuat oleh tokoh utama Talib ini pun mencerminkan judul dari novel, yakni "Gairah untuk Hidup dan untuk Mati", dimana masyarakat Jepang kesulitan mencari gairahnya untuk hidup, dan malah memiliki gairah untuk mati. Sedangkan masyarakat Indonesia memiliki gairah dan semangat tinggi terhadap hidupnya dan kemerdekaan jiwanya. Kedua masyarakat memiliki tradisinya masing-masing yang sangat berbeda satu sama lain. Dimana novel ini mengeksplorasi keduanya dengan memberikan gambaran rinci akan pola pikir dari masyarakat Jepang dan Indonesia.

  1. Penegasan Ulang dan Penutup

Novel "Gairah untuk Hidup dan untuk Mati" menggunakan pola bahasa yang unik, dimana hampir semua bagian dari novel menyebut istilah-istilah Jepang. Dimana pengetahuan tambahan mengenai budaya Jepang dibutuhkan bagi para pembaca, jika benar-benar ingin memaknai segala bagian dari masyarakat Jepang. Namun, apabila pembaca sudah mengenali sedikit demi sedikit mengenai beberapa pilar dari pola pikir masyarakat Jepang, pemikiran pembaca bisa diperjelas kembali dengan membaca novel ini. Sebagai novel yang banyak menyentuh isu sensitif mengenai kesehatan mental, novel ini kurang cocok dibaca oleh orang-orang yang merasa tidak nyaman dengan isu-isu tersebut. Namun diluar itu, novel ini bisa memberikan pembaca informasi mengenai isu bunuh diri di Jepang dan mengenai sifat represif yang dimiliki oleh masyarakat di Jepang, sehingga baik untuk dibaca bagi orang-orang yang tertarik dengan sisi gelap dari masyarakat Jepang.

Sebagai penutup, novel "Gairah untuk Hidup dan untuk Mati" merupakan sebuah novel klasik yang tentunya bisa dikategorikan sebagai salah satu karya Nasjah Djamin yang eksperimental. Sentuhan pandangan orang-orang dari Asia Tenggara terhadap fragmen-fragmen kepedihan hidup yang dialami masyarakat Jepang merupakan bagian-bagian novel yang tak terlupakan. Bahkan, novel ini secara akurat bisa menggambarkan sisi gelap dari masyarakat Jepang yang dipenuhi dengan sifat represif dan kecenderungan bunuh diri di tengah tuntutan masyarakat mereka sendiri. Sedihnya pula, semua kecenderungan ini sulit untuk ditinggalkan akibat sejarah yang mengakar pada masyarakat mereka berkat Bushido. Novel ini bahkan memberikan perbandingan antara masyarakat Jepang dan Indonesia dengan sentuhan yang unik. Sedemikian, kekuatan novel ini berada pada kehebatannya dalam mengangkat isu-isu sensitif dan aktual, sekaligus menuangkan hal-hal tersebut dalam sebuah karya sastra yang menarik untuk dibaca. 

"Memasuki mati dengan kepercayaan dan cinta, lebih berharga daripada terus hidup tanpa itu. Bila kita berani hidup, kita juga harus berani mati."

  • Nasjah Djamin, Gairah untuk Hidup dan untuk Mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun