Mohon tunggu...
Kayla Maharani
Kayla Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Hanya seorang pemudi yang sangat tertarik dengan psikologi manusia.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Psikopati vs Sosiopati: Criminal Profiling Dalam Analisis TKP

20 Desember 2024   14:57 Diperbarui: 20 Desember 2024   14:34 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto garis polisi (Sumber: Rawpixel.com)

Ilmu Pemrofilan Kriminal adalah cabang keilmuan yang mengacu pada proses analisis perilaku, pola maupun karakteristik pelaku kejahatan guna memprediksi tindakan mereka selanjutnya. Dalam analisis Tempat Kejadian Perkara (TKP), detektif atau polisi membutuhkan keterampilan ini untuk mendapatkan gambaran mengenai sifat pelaku selama melakukan kejahatannya, sehingga akan memudahkan proses penangkapan. Dalam menangani TKP, seorang pemrofil kriminal membutuhkan dua disiplin ilmu yang berbeda: psikologi dan hukum. Profesi ini tidak hanya menuntut pemahaman yang baik akan hukum, tetapi juga ketangkasan analisis, tajamnya intuisi serta kepekaan emosi yang mendalam. Ilmu hukum yang dipelajari oleh criminal profiler membantu mereka menyusun analisis yang relevan secara hukum, membuat hasil laporan profil pelaku yang dapat dipertimbangkan sebagai bukti pendukung yang sah, serta pengelompokkan jenis kejahatan. Seorang criminal profiler harus dapat memberikan kesimpulan berdasarkan hasil analisis olah TKP. Analisis yang dihasilkan dapat berupa motif kejahatan, modus operandi, kategori kejahatan dan profil psikologis pelaku. Dari hasil analisis ini, bisa dijelaskan mana TKP yang memiliki emosi dan mana yang tampak "dingin", mana yang terencana dan mana yang impulsif, dan lain sebagainya. Maka dari itu, hasil analisis ini pun akan memberikan kesimpulan yang akurat terhadap kepribadian pelaku.

PERBEDAAN MENDASAR PSIKOPATI DAN SOSIOPATI

Psikopat dan sosiopat  adalah gangguan kepribadian antisosial yang ekstrem. Keduanya sering kali dikaitkan, namun memiliki pengertian dan ciri khas yang berbeda. Dikutip dari laman Liputan6.com, psikopat adalah gangguan kepribadian yang meliputi kurangnya empati, manipulatif dan sering melanggar norma. Sementara itu, sosiopat adalah sikap tidak ingin mematuhi aturan sosial yang berlaku di masyarakat atau dimana pun. Dua pengertian inilah yang menjadi ciri khas serta perbedaan mencolok dari seorang psikopat dan sosiopat. Psikopati pada seseorang dapat disebabkan oleh rusaknya fungsi amygdala pada otak yang bertugas mengatur pemrosesan emosi, khususnya rasa takut, agresi dan empati. Disfungsi amygdala juga menyebabkan para penderita psikopati ini tidak dapat mengenali emosi takut maupun sedih pada orang lain. Itulah mengapa orang dengan kecenderungan psikopati tidak bisa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi kepada korbannya atas perbuatan yang dilakukan.

Sosiopati sering kali dikaitkan dengan sikap acuh tak acuh terhadap norma, emosi yang tidak dapat diprediksi serta perilaku impulsif. Hal paling mencolok antara seorang psikopat dan sosiopat adalah tingkat emosional mereka. Orang dengan gangguan kepribadian sosiopati cenderung sulit untuk membaur di masyarakat karena amarah mereka yang meledak-ledak. Mereka juga cenderung tidak bertanggung jawab dan bertindak semaunya tanpa mau mengkalkulasikan dampak hukum yang terjadi. Jika seorang psikopat biasanya disebabkan oleh kurangnya aktivitas amygdala, maka berbeda dengan sosiopat. Sikap sosiopati biasanya terbentuk karena faktor lingkungan, pola asuh orang tua yang salah maupun trauma masa lalu. Hal ini menjadi perbedaan paling mendasar jika dilihat dari segi faktor pembentukan perilaku, walaupun bisa saja psikopati lahir dari trauma dan faktor lingkungan.

Berikut adalah perbedaan mendetail antara gangguan kepribadian psikopati dan sosiopati:

1. Sifat umum
    a. Psikopati: manipulatif, dingin, terkontrol.
    b. Sosiopati: Impulsif, emosional.


2. Empati
    a. Psikopati: Tidak memiliki empati.
    b. Sosiopati: Memiliki empati walau hanya pada hal tertentu.


3. Kendali diri
    a. Psikopati: Terkontrol, rapi.
    b. Sosiopati: Tidak terkontrol, meledak-ledak.


4. Hubungan sosial
    a. Psikopati: Dapat berhubungan baik, pandai menyamar.
    b. Sosiopati: Sulit membangun hubungan yang stabil.


5. Respon terhadap risiko
   a. Psikopati: Berhati-hati, penuh perhitungan & risiko.
   b. Sosiopati: Melakukan tindakan berisiko tinggi.


6. Penyebab
    a. Psikopati: Genetik atau bawaan, disfungsi amygdala.
    b. Sosiopati: Faktor lingkungan, trauma masa lalu.


7. Kriminalitas
    a. Psikopati: Perencanaan yang detail, sulit dilacak, sangat rapi, sebisa mungkin tidak meninggalkan jejak.
    b. Sosiopati: Kejahatan spontan, lebih mudah dilacak, meninggalkan jejak yang banyak.


8. Emosi
    a. Psikopati: Dingin, tanpa rasa bersalah.
    b. Sosiopati: masih menunjukkan emosi walau hanya pada hal tertentu.

Keterkaitan Olah TKP Dengan Perilaku Psikopati dan Sosiopati Melalui Pendekatan Studi Kasus

Pada saat terjadi sebuah kejahatan, tentunya tidak akan ada manusia yang tidak meninggalkan jejak. Sebuah jejak, walaupun hanya secuil, merupakan sebuah bukti berharga guna meminimalisir terjadinya peristiwa kejahatan selanjutnya. Dengan perbedaan yang sangat mencolok ini, tentunya hasil olah TKP dan jenis kejahatan yang dilakukan juga berbeda.

A. Studi Kasus Psikopati: Israel Keyes

Studi kasus yang cukup relevan pada topik kali ini adalah kasus psikopat bernama Israel Keyes. Israel Keyes merupakan seorang psikopat dan pembunuh berantai berdarah dingin asal Amerika yang terkenal karena perencanaan matang dan kebersihannya dalam merapikan TKP. Rentang kasus terjadi dari tahun 2001- Februari 2012. Korban terakhirnya, Samantha Koenig diculik pada tanggal 1 Februari 2012 dari tempat kerjanya, Kedai Kopi Common Grounds Espresso Stand. CCTV menunjukkan adanya pengancaman menggunakan senjata api untuk mengintimidasi sang korban.

Sebagai seorang psikopat yang metodis dan terstruktur, Israel Keyes melakukan serangkaian manipulasi pada TKP untuk mengelabui polisi. Israel Keyes sama sekali tidak pernah meninggalkan tanda kekerasan atau pencurian. Ia selalu menyembunyikan tubuh korban di lokasi terpencil tanpa adanya jejak darah maupun barang bukti. Lebih dari itu, Keyes bahkan telah memilih lokasi serta murder kits yang akan ia gunakan untuk membunuh dan menghilangkan jejak. Segala perencaan yang sangat matang ini membuat korban dan pelaku seakan-akan hanya “menghilang” di telan bumi tanpa sebab yang jelas. TKP yang ditinggalkan tampak sangat dingin, seakan tanpa emosi. Tidak ada sidik jari. Tidak ada tanda kekacauan emosional maupun keterikatan psikologis pada korban. Tidak ada tanda-tanda perilaku impulsif. Seluruh hal ini mencerminkan perilaku gangguan kepribadian psikopati yang terencana dan tanpa emosi. Tidak adanya keterlibatan psikologis membuat pihak penyidik semakin kesulitan melacak Keyes. Jika tidak ada keterikatan psikologis, maka tidak ada faktor emosi, tidak ada motif yang jelas dan tidak ada tanda kepanikan dari pelaku.

Setelah membunuh korbannya, Keyes melakukan serangkaian pemalsuan dan pengaturan guna memainkan psikologis keluarga korban. Ia dengan sengaja membekukan tubuh Samantha selama beberapa hari dan menjahit kelopak matanya, lalu mengatur tubuh Samantha dengan sedemikian rupa agar tampak “hidup”. Di dalam fotonya, ia meletakkan koran terbaru yang memuat tanggal terkini di bagian latar foto untuk mengelabui keluarga korban. Ia ingin keluarga korban percaya bahwa Samantha masih hidup pada hari itu. Kelak, keadaan ini dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk memanfaatkan kondisi emosi keluarga korban dan memeras uang mereka. Hal ini juga sempat menghambat proses penangkapan. Sang pelaku tahu betul bahwa jika korban masih hidup, pihak kepolisian akan terlebih dahulu memastikan keselamatan korban daripada menangkap pelaku karena status kejahatannya adalah penculikan saja, bukan pembunuhan.

Olah TKP Israel Keyes menunjukkan betapa terorganisirnya ia sebagai seorang psikopat. Tidak ada satu pun bukti yang tertinggal pada tempat kejadian perkara. Walau begitu, Keyes berhasil ditangkap berkat kesalahannya sendiri saat menggunakan kartu kredit korban dan menarik uang dari ATM. Ia tidak menyadari bahwa video pengawasan yang tertanam di dalam mesin ATM merekam wajahnya saat menarik uang. Berkat hal tersebut, Israel Keyes berhasil ditangkap pada tanggal 2 Maret 2012 di Lone Star, Texas setelah kasus penculikan dan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Barista Samantha Koenig.

B. Studi Kasus Sosiopati: Edmund Kemper

Tidak seperti seorang psikopat yang cenderung obsesi dengan detail, sosiopat lebih mengedepankan emosi yang berantakan, membuatnya lebih mudah untuk ditangkap dan diidentifikasi. Namun, bukan berarti seorang sosiopat lebih bodoh dan tidak secerdas psikopat. Orang dengan kecenderungan sosiopati acap kali menggunakan kemampuannya untuk berempati sebagai alat untuk mendapatkan perhatian korbannya. Empati yang mereka rasakan dapat bersifat manipulatif, ini dikarenakan tidak seperti psikopat yang memiliki disfungsi amygdala, seorang sosiopat cenderung memiliki otak dengan fungsi normal. Yang menjadi penyebab utama dari perubahan perilaku mereka adalah trauma yang mendalam, terutama trauma masa kecil. Inilah mengapa pada kasus pembunuhan berlatar sosiopati, korban mereka biasanya memiliki pola tersendiri.

Studi kasus yang cocok untuk menggambarkan seorang sosiopat adalah kasus Edmund Kemper. Edmund Emil Kemper merupakan seorang pembunuh berantai asal Santa Cruz, California. Kemper memiliki julukan "The Co-Eds Killer" yang berarti college educated girls. Mayoritas korbannya adalah gadis kuliah yang sering ia beri tumpangan. Berdasarkan keterangan polisi, Edmund memiliki postur tubuh yang tinggi besar (2,06 meter), sikap yang sopan serta kecerdasan di atas rata-rata (IQ 145). Ketiga kombinasi ini mampu menumpulkan faktor kewaspadaan dari calon-calon korbannya. Edmund Kemper terkenal dengan kekejiannya dalam membunuh dan memutilasi korban. Kebrutalannya tersebut lahir dari kebenciannya akan wanita.

Kemper dibesarkan oleh seorang ibu yang keras dan dominan. Tidak hanya berupa kekerasan fisik, ibunya juga melakukan pengabaian emosional. Berbagai bentuk penganiayaan fisik, emosional dan verbal dilancarkan oleh ibunya, membuatnya merasa bahwa ia adalah anak yang cacat secara sosial. Setelah semua trauma tersebut, kondisi mental Kemper kecil semakin diperparah dengan kandasnya rumah tangga kedua orangtuanya, yang menyebabkan Kemper kecil harus kehilangan sosok figur ayah yang stabil. Kemper kecil tetap tinggal dengan ibunya yang kasar. Tidak jarang ibunya mengurung serta mengisolasi Kemper dari adik-adiknya. Kesendirian yang gelap tersebut membentuk dendam yang tidak pernah berkesudahan. Pada usia 15 tahun, Kemper membunuh kakek dan neneknya dengan keji dan brutal. Peristiwa ini menjadi isyarat akan munculnya kepribadian sosiopati yang kelak akan memakan 10 korban.

Edmund Kemper memilih perempuan muda sebagai target pembunuhannya. Hal ini menjadi pertanda adanya keterikatan psikologis dan emosional antara pelaku dan korban. Dengan modus operandi atau pola spesifik ini, penyidik dapat mengidentifikasi profil pelaku. Orang dengan dendam atau trauma tertentu memiliki kecenderungan untuk memilih korban dengan ciri yang mirip. Seorang sosiopat yang merupakan pembunuh berantai jarang sekali memilih korbannya secara acak. Dalam hal ini, Kemper memilih wanita sebagai korbannya karena trauma yang timbul akibat kekerasan yang dilakukan ibunya semasa ia kecil. 

Pada tanggal 20 April 1973, setelah membunuh ibu dan sahabat ibunya, Edmund Kemper secara sukarela menghubungi polisi untuk mengakui kejahatannya. Pembunuhan ini menjadi pembunuhan terakhir sekaligus penutup dari serangkaian kasus yang ia lakukan. Kemper mengakui perbuatannya dengan puas dan bangga, tanpa rasa penyesalan. Namun, ia mengakui bahwa seluruh pembunuhan ini dilatarbelakangi oleh dendam masa kecil. Olah TKP yang dilakukan oleh pihak penyidik menyimpulkan bahwa Edmund Kemper adalah seorang pembunuh berantai yang keji dan brutal. Kemper terlebih dahulu memukul kepala ibunya dengan palu, kemudian mencekiknya hingga tewas. Tidak berhenti di situ, Kemper memenggal kepala ibunya yang telah tewas dan menusuknya berkali-kali dengan pisau, mengisayaratkan kemarahan yang telah lama terpendam. Informasi total tusukan yang ada pada kepala ibu Kemper tidak dirilis secara publik oleh pihak kepolisian, namun diketahui bahwa setelah memenggalnya, Kemper sempat memberikan cacian dan makian kepada kepala tersebut dibarengi dengan berbagai tindakan tidak senonoh. Entah seperti apa bentuk penghinaan dan tindakan tidak senonoh yang dilakukan, namun dari seluruh olah TKP ini, dapat disimpulkan bahwa Edmund Kemper merupakan seorang sosiopat kejam yang memiliki latar psikologis dan motif berupa dendam masa kecil.

TEKNIK ANALISIS TKP : HIPOTESIS PREDIKTIF

Pada kasus kriminal, salah satu jenis hipotesis yang biasa digunakan oleh profesional adalah teknik hipotesis prediktif. Penyidik menggunakan teknik ini untuk memprediksi dan mempertajam profil perilaku berdasarkan temuan di TKP dengan variabel sebagai berikut:

1.   Variabel independen (penyebab): pola tindak kejahatan (X = TKP rapi/terkontrol, lokasi jauh dari rumah korban, tingkat kekerasan       meningkat seiring bertambahnya korban). (Y = TKP berantakan/impulsif, lokasi dekat dengan rumah korban, tingkat kekerasan             sama).

2.  Variabel dependen (akibat): profil perilaku pelaku (A = psikopat, B= sosiopat).

Selain itu, dibutuhkan data empiris dan pendekatan teori psikologi kriminal agar dapat menghasilkan analisis yang sesuai. Adapun tahapan dalam membuat hipotesis prediktif pada TKP pembunuhan adalah sebagai berikut:

1.    Pengamatan Awal

2.    Identifikasi Pola

3.    Penyusunan Hipotesis

4.    Pengujian Hipotesis

Pengamatan awal dilakukan pada saat penyidik pertama kali mendarat di TKP. Dengan hati-hati dan sesuai prosedur, pemrofil kriminal akan mengamati dan mengumpulkan informasi secara cermat dari tempat kejadian perkara. Informasi yang dihasilkan dapat berupa waktu, kondisi TKP maupun saksi di sekitar lokasi kejadian. Jika informasi yang dikumpulkan sudah cukup, maka seluruh data ini akan membentuk pola berupa modus operandi, tanda-tanda emosional dan bukti forensik.  Setelah itu, penyidik dapat menyusun sebuah hipotesis prediktif berdasarkan variabel-variabel yang telah dicatat. Jika variabel independen berupa X, maka variabel dependen yang dihasilkan adalah A. Jika variabel independen berupa Y, maka variabel dependen yang dihasilkan adalah B. Jika penyidik telah menyusun sebuah hipotesis sederhana, maka pengujian hipotesis dilakukan sebagai tahap terakhir dengan menggabungkan data tambahan seperti saksi dan daftar riwayat kejahatan. Demikian hasil pengujian hipotesis ini akan menyempurnakan profil perilaku dan melacak jejak kejahatan yang akan terjadi selanjutnya serta digunakan sebagai bukti yang sah.

 KESIMPULAN

Jejak adalah sebuah anugerah yang diberikan Tuhan oleh manusia. Karena jejaklah, kita dapat pergi dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan membentuk evolusi dan konstruksi sosial yang rumit. Selama ribuan tahun, manusia telah melakukan perjalanan dari ujung dunia ke ujung dunia lainnya untuk mencari jejak. Kecerdasan dan keingintahuan manusia akan jejak telah melahirkan banyak cabang keilmuan: Arkeologi, Astronomi, bahkan kriminologi dan teologi. Jejak merupakan bahasa indah dari Tuhan, alam dan juga ilmu pengetahuan kepada manusia. Sebagai bahasa alam yang indah, maka tidak mungkin seorang manusia yang hidup tidak meninggalkan jejak. Seperti peribahasa "sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga". Dinding rumah, tangga jalanan dan tanah basah pun akan merekam jejak-jejak kehidupan kepada manusia yang mau memperhatikan. Maka dari itu, penting bagi kita sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi demi meninggalkan jejak yang baik di bumi ini. Mengetahui bahwa setiap jejak dari kita akan disimpan oleh alam, dan tentu, oleh sesuatu yang Mengawasi seluruh makhluk-Nya di atas sana, akan memberikan kita kesadaran penuh terhadap dampak dari setiap perbuatan. Demikianlah seluruh artikel ini dimaksudkan untuk kepentingan ilmu dan pengetahuan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun