Lika-Liku Kehidupan Di Kota Kupang
(Dari Kos Hingga Memiliki Pondok Sendiri)
Rumah pertama menjadi tempat berteduh di Kupang (RSS Liliba)
Setiap manusia memiliiki ceritera hidup, sebagai pribadi beriman kita sepakat bahwa Sang Ilahi memilki peran sentral dalam rangkaian ceritera hidup yang dilakoni oleh setiap pribadi. Ada tiga fase lika liku kehidupan, yakni kemarian, hari ini dan yang akan datang.
Kemarian adalah kenangan yang tidak pernah akan kembali lagi, hari ini adalah kenyataan yang sedang dialami, esok adalah dambaan yang belum pasti. Lika liku kehidupan hari ini, tidak terlepas dari proses kemarin. Mamaku Berta Anunu Abi (seorang wanita hebat dimasanya) pernah berucap " kalau besok mau petik mangga, hari ini harus tanam". Kalimat sederhana yang keluar dari mulut seorang wanita kampung, yang tidak pernah duduk di bangku pendidikan, namun kaya makna. Ya ! kalau mau petik harus tanam, kalau mau makan harus bekerja.
Anak kampung/desa/dari keluarga sederhana (miskin) tidak pernah terlintas dalam pikiran saya kalau suatu saat akan memiliki sepotong tanah di kota Kupang, apalagi memiliki satu pondok kecil yang berdiri di atas tanah milik sendiri.Â
Sejak kecil saya sudah mendengar nama Kota Kupang, karena banyak orang muda dari kampung (sainoni) bekerja di Kota Kupang sebagai sopir truk, tukang atau kuli bangunan, bahkan kakak sulung laki-laki ( Paulinus Seko) juga sejak remaja mencoba mengadu nasib sebagai kuli bangunan di kota Kupang, hal itulah yang membuat mama saya beberapa kali ke Kupang waktu itu.
Saya sendiri baru pertama kali menginjakan kaki di kota Kupang seusai tamat SMA, waktu itu hendak melamar di seminari, kali kedua saya ke Kupang saat mengunjungi adik Paulus Kolo yang kala itu baru selesai menamatkan pendidikan di PSBR Naibonat dan bekerja di sebuah meubel di bilangan Naibonat.
Lika liku kehidupan di Kota Kupang berawal selepas meraih gelar sarjana di IPI Malang-Jawa Timur tahun 2002. Saat berangkat ke Kota Malang, niatan saya kala itu, harus kembali ke Kefam,nanu untuk mengabdi di IPI Filial Malang dan tetap menjadi guru di SMPK Aurora Kefamenanu.Â
Niatan itu gugur ketika informasi sukacita kelulusan saya dalam menyandang sarjana sampai di telingan mama angkat saya (Sr.Amanda Theresia Klara Robers,SSpS), waktu itu Suster Amanda meminta saya setelah wisuda harus segera pulang karena SMPK Sta.Theresia Kupang sangat membutuhkan tenaga saya.
1. RSS Lliba
Pintu rumah ini, yang kulewati tiap hari
Adelino de Almeida saat di Oekusi-Timor Leste kami sama-sama diangkat menjadi anak asuh Sr.Amanda, SSpS, ia sementara kuliah teknik di Unika Kupang. Pesan dari Sr.Amanda SSpS (Almh), saya diminta untuk sementara tinggal bersama Adelino Almeida di kontrakannya di RSS Liliba.Â
Di Bulan Januari 2003, tepatnya 7 Januari dari Sainoni ke Kupang dan oleh Sr.Amanda, SSpS di minta untuk lansung bawa barang-barang ke kontrakannya Lino Almeida, sebuah bangunan sederhana di belakang kampus AKL, ujung jembatan Liliba menjadi hunian saya sementara.
Semenjak Januari 2003, jembatan Liliba dan bundaran PU menjadi saksi bisu perjalanan saya setiap pagi dan siang hari. Setiap Sabtu pagi barang kebutuhan saya sudah diantar oleh Suster Amanda ke kontrakan kami itu.Â
Di Liliba saya bertemu dengan orang-orang sekampung, kakak Basel Kolo (alm) dan keluarganya, Tanta Maria Kolo dan Kel, serta beberapa orang dari Buk. Akhirnya masa kontrakan itu berakhir, ternyata Suster sudah menyiapkan tempat lain untuk kami, bangunan dua air milik Bpk.Niko Seran dan Mama Agnes di bilangan Perumnas Kota Kupang.
2. Menjadi Warga Perumnas Kota Kupang.
Sore itu, sebuah pik up membawa barang-barang kami ke sebuah rumah dua air yang baru selesai di bangun. Rumah dua kamar tidur itu milik Bpk.Niko Serang (Karyawan Suster-Suster SSpS Medeka Kupang). Semenjak saat itu saya menjadi warga perumnas- alamat yang paling kuingat sampai saat ini, adalah jln Batu Kristal.Â
Di rumah itu saya tinggal bersama Adelino Almeida dan hampir setiap Minggu, entah Mama atau Kakak2 atau adik2 saya mengunjungi saya dan tinggal beberapa saat bersama saya.
Sarana transportasi saya setiap pagi dan siang ke dan pulang dari sekolah, orang Kupang bilang bemo lampu 11. Yang menarik bahwa hampir setiap hari saya di turunkan di strad A dan harus jalan kaki ke sekolah. Saat siang hari kalau tidak ada angkot lampu 11 yang melintas di depan kampus Unika saya harus jalan kaki ke Strad A. Situasi ini saya jalani selama satu tahun.
Tidak terasa 1 tahun hampir berlalu, oooo hampir lupa, di perumnas saya bertemu dengan saudara kami, Paulus Tasain Kolo bersama istrinya dari Sumba, dari sanalah kami hidup sebagai saudara.
3. Menjadi Umat KUB Sta. Roswita Gua Lordez-Paroki Naikoten
Sebuah lorong masuk yang kelewati selama hampir 8 tahun setiap hari
Tak terasa setahun hampir berlalu, di Perumnas inilah saya sangat terpukul karena dia yang sangat mencintai saya (Sr.Amanda Theresia Klara Robers,SSpS) harus pergi untuk selamanya.
Kepergian Sr.Amanda, SSpS untuk selamanya membuat saya sepertinya tidak ada harapan hidup. Gaji saya sebagai guru swasta hanya bisa untuk makan dan minum. Kepergian sang Bundaku Sr.Amanda,SSpS membuat saya harus benar-benar belajar berdiri di atas kaki sendiri. Menjelang kontrakan kami berakhir, saya bingung harus kemana lagi. Di sekolah saya sharing dengan teman-teman guru soal kontrakan saya yang akan berakhir.
Ada seorang teman guru (Bpk.Drs.Antonius Anton) menyarankan saya kalau mau kontrak rumah bapak mantunya di bilangan Gua Lordez. Tawaran itu saya terima, akhirnya kami menuju Gua Lordez untuk lihat rumah. Rumah itu adalah sebuah rumah semi permanen, berdindingkan bebak dan sudah usang di makan usia. Di rumah itu ada tiga orang wanita yang menetap di sana. Setelah sepakat harga, barang-barang kami pindahkan dari Perumnas ke Gua Lordez.
Sebagai orang yang aktif dalam berbagai kegiatan rohani, saat menetap di Gua Lordez hal pertama yang saya cari dan berusaha untuk ketemu adalah ketua KUB. Ternyata KUB Sta.Roswita tidak memiliki ketua. Ketika kami baru menetap dua bulan, saya terpilih menjadi ketua KUB.
Rumah yang kami tempati berdiri di atas bebatuan, air kami harus antri berjam-jam dan milik orang lain. Di rumah bebak itu, akhirnya datanglah adik Paulus bersama keluarganya dan menetap bersama saya di situ. Dalam perjalanan waktu datang juga adik Lifa, Frans dan Ena yang selalu setia mengunjungi kami.
Meski serba kekurangan di tempat itu, namun kami sangat krasan di sana dan memang tidak ada pilihan lain.
Mungkin karena saya cepat akrap dengan orang dan saya yakin doa Mama angkat saya Almh.Sr.Amanda, SSpS saya di terima menjadi karyawan lepas di PNRI cab.Kupang. Terkadang seusai dari sekolah lansung ke percetakan kalau ada yang harus dicetak.Ya lumayan mendapat penghasilan tambahan. Di Gua Lordez saya membeli komputer dan yang paling mengesankan adalah untuk pertama kalinya memiliki kendaraan roda dua (Sepada motor).
Kami sangat akrap dengan orang-orang Gua Lordez, Ada Bpk.Niko Dilak dan keluarganya di belakang kontrakann, Bpk.Frans, dan masih banyak lagi. Saat menjadi ketua KUB, sekretaris saya juga seorang muda (Om Falentius Ngasi)
4. Memilki Tanah
Kwitansi pembelian tanah tersimpan di sini biar abadi dan awet
Niat saya saat menjadi warga Kota Kupang, adalah saya harus memiliki tanah sendiri, meski kecil dan tanah untuk rumah saya adalah harus di ketinggian. Setiap kali bepergian di Kota Kupang, saya selalu melirik tanah yang cocok untuk pondok saya.
Niatan itu terwujud, dimana baru dua tahun menetap di kota Kupang, saya sudah memiliki tanah walaupun diluar kota Kupang.
Di tangan ada sedikit uang dari hasil menjadi karyawan lepas di PNRI Cab. Kupang. Saya membaca sebuah iklan yang di muat di koran Pos Kupang, bunyinya dijual sebidang tanah yang terletak di Bello, dekat biara SSpS Bello. Setelah membaca iklan itu saya lihat lokasi ternyata lokasi seperti inilah yang saya cari selama ini. Singkat ceritera proses pembayaran itu saya lakukan.
5. Menjadi Umat dan Warga Kelurahan Bello Hingga saat ini!
Setelah berkeluarga (Menikah) pada September 2009,kerinduan besar adalah segera memiliki rumah sendiri, meski sederhana. Niatan itu akhirnya terwujud, setelah istri tercinta pindah dari Alor ke Kupang, kami mulai membangun bangunan sederhana, yang sebelumnya kami menggali sebuah sumur.
Akhirnya setelah 7 tahun menjadi umat Gua Lordez (Ketua KUB) kami pindah ke Bello, bangunan milik sendiri.
............Tuhan Sungguh Baik.... Sekali Tuhan Cinta akan cinta selamanya......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H