Mohon tunggu...
Kayana Shafira
Kayana Shafira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kedokteran Gigi di Universitas Airlangga

Saya seorang mahasiswa yang senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

QRIS Bermata Dua: Senjata Ekonomi Pendongkrak Kesenjangan

17 Juni 2024   14:22 Diperbarui: 17 Juni 2024   14:30 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Quick Response Indonesian Standard atau QRIS (baca: kris) saat ini menjadi primadona metode pembayaran elektronik sejak rilisnya pada tahun 2019. Pembayaran melalui pemindaian QRIS dinilai lebih efisien daripada transfer bank serta lebih praktis dari pembayaran tunai. Kepraktisan QRIS pun berhasil menarik jutaan pengguna baru setiap tahunnya sehingga volume serta nilai transaksi yang dilakukan melalui QRIS juga terus meningkat. 

Tren positif terhadap penggunaan QRIS disambut oleh otoritas moneter dan digadang-gadang sebagai senjata dalam pemulihan hingga peningkatan ekonomi. Selain itu QRIS juga berperan sebagai instrumen dalam digitalisasi ekonomi serta pendukung gerakan cashless society. Dengan banyaknya dampak positif dari QRIS terhadap perekonomian, masyarakat cenderung tidak sadar akan dampak negatifnya terhadap dinamika sosial. 

Teknologi hanya secanggih penggunanya

Implementasi QRIS secara nasional dianggap sebagai salah satu kemajuan besar dalam digitalisasi ekonomi. Bagaimana tidak, sekarang proses pembayaran semudah mengarahkan kamera ponsel ke kode dan mengklik beberapa tombol saja. Namun layaknya semua bentuk kemajuan teknologi yang ada, QRIS pun rentan terhadap penyalahgunaan oleh penggunanya.

Salah satu kelemahan QRIS yang dapat dirasakan langsung yaitu rupa khas dari kode QR yang mirip satu sama lain. Kemiripan ini membuat kode QR susah dibedakan sehingga mudah dipalsukan. Bahkan pada bulan April tahun 2023 lalu, masyarakat sempat dihebohkan dengan terungkapnya aksi pemalsuan QRIS pada suatu masjid di Jakarta Selatan. Aksi ini terungkap dari rekaman CCTV masjid yang menangkap jejak seorang pria dalam menukar QRIS masjid yang ditujukan sebagai metode sedekah dengan kode QRIS palsu yang terhubung dengan rekening pribadinya. Aksi ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus dan metode penyalahgunaan QRIS.

Pada kasus-kasus lain, penipuan dilakukan oleh pembeli dengan menunjukkan bukti transaksi palsu pada penjual yang tidak menaruh curiga serta kurang melek teknologi. Sayangnya yang sering menjadi korban pada kasus-kasus seperti ini yaitu pedangang-pedagang UMKM yang tidak memiliki sistem pembayaran QRIS terintegrasi sehingga hanya mengandalkan bukti transaksi dari pembeli. Pada usaha-usaha besar, sistem QRIS yang digunakan lebih canggih dan terintegrasi langsung dengan sistem billing untuk menghindari kejadian serupa. Instalasi sistem ini tentunya memerlukan perangkat serta biaya lebih sehingga jarang digunakan oleh UMKM.

Kesenjangan Sosial

Dari contoh-contoh kasus di atas, sudah terlihat bahwa masyarakat menengah kebawah lebih rentan untuk menjadi korban dari penyalahgunaan QRIS. Selain penyalahgunaan, implementasi QRIS secara nasional sebagai layanan yang gratis pun tetap tidak bisa dinikmati oleh sebagian masyarakat karena penggunaannya menuntut komponen fisik yang berbayar. Dengan statusnya sebagai metode pembayaran elektronik, dalam penggunaannya QRIS tentu tetap memerlukan operator serta perangkat elektronik pendukung. 

Di samping perangkat elektronik, proses transaksi dengan QRIS pun hanya dapat dilakukan jika perangkat pembeli dan penjual terhubung dengan internet. Hal ini membuat QRIS mutlak tidak dapat digunakan oleh seluruh masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah tanpa layanan internet. Selain itu, komponen-komponen pendukung QRIS berupa perangkat elektronik dan layanan internet juga masih dianggap sebagai kebutuhan tersier dan tidak terjangkau bagi sebagian masyarakat

Selain kendala terkait komponen fisik, kemampuan pengoperasian perangkat elektronik juga menjadi komponen penting dalam penggunaan QRIS. Proses transaksi yang dianggap mudah dan praktis oleh sebagian orang, bisa jadi membingungkan bagi orang dengan pengalaman minim dalam menggunakan teknologi serupa. Ditambah lagi, pembayaran yang dilakukan dengan metode pemindaian QRIS umumnya dilakukan melalui aplikasi perbankan atau keuangan yang sendirinya sering dianggap membingungkan oleh masyarakat yang kurang melek teknologi. 

Kesiapan

Mengingat tingkat ketidakrataan sosio-ekonomi, pembangunan, hingga pendidikan yang tinggi di Indonesia, implementasi QRIS secara nasional rentan menjadi instrumen pendorong kesenjangan sosial. Karenanya, masyarakat patut mempertanyakan jika keputusan pemerintah di samping eksekutif perbankan untuk mendorong agenda cashless society dengan implementasi QRIS secara nasional merupakan langkah yang tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun