Dari tahun ke tahun, iklan adalah hal yang paling sering kita temui sebagai alat komunikasi massa yang efektif digunakan oleh tim advertising di sebuah perusahaan untuk mempromosikan suatu produk atau merek. Iklan dapat dikatakan baik apabila mampu mendorong perhatian konsumennya agar membeli produk yang dipromosikan sekaligus berhasil membentuk persepsi merek atau produk yang kuat dalam benak target konsumen (Agung, 2003). Iklan memang sangat berpengaruh pada pembentukan persepsi masyarakat terkait berbagai isu, salah satunya peran gender. Dalam iklan, perempuan selalu dijadikan subjek utama pada iklan produk kecantikan, mulai dari kosmetik, skin care, body care, hingga pelangsing tubuh. Akan tetapi, representasi perempuan dalam iklan menuai permasalahan yang cukup kompleks, di mana iklan selalu menampilkan perempuan dengan kecantikan paripurna dan tanpa disadari hal tersebut dapat memperkuat stereotip perempuan dengan standar kecantikan yang tidak realistis.
Selain kecantikan, feminitas juga diperlukan dalam diri seorang perempuan. Dengan feminitas, perempuan tampak lebih lemah lebut, ramah, atau kini bisa disebut positive vibes. Namun, kecantikan lah yang paling disokong oleh industri media melalui iklan karena melihat dominan target penjualan dari suatu produk kecantikan ialah perempuan. Sementara itu, salah satu representasi perempuan dalam iklan, khususnya pada produk kecantikan, adalah penciptaan standar kecantikan yang ideal tetapi tidak realistis. Studi tentang perempuan dalam iklan majalah telah merumuskan konsep citra perempuan dalam iklan, yakni citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan (Tomagola, 1998). Iklan sering kali memperlihatkan perempuan dengan kulit putih, tubuh langsing, rambut lurus lebat, serta wajah yang simetris dan proposional. Standar ini menjadi acuan tolak ukur kecantikan yang dipromosikan, sedangkan kenyataanya tidak semua perempuan berpenampilan seperti itu. Apalagi di era digital sekarang ini mulai ada penggunaan teknologi digital seperti filter yang membuat wajah atau tubuh semakin cantik bak sempurna tanpa ada kekurangan sedikitpun. Hal ini menjadi tekanan sosial bagi perempuan yang merasa dirinya harus memiliki standar kecantikan yang sama dengan standar kecantikan yang ‘umum’ dipromosikan dalam iklan kecantikan. Adakalanya muncul ketidakpuasan bagi perempuan dalam memenuhi standar tersebut yang malah mengakibatkan terjadinya gangguan mental.
Representasi perempuan dalam iklan lainnya ialah objektifikasi perempuan. Objektifikasi perempuan mengacu pada fragmentasi perempuan sebagai bagian yang berfungsi seksual sehingga perempuan hanya dipandang secara fisik, terlepas dari kepribadiannya. Perempuan sering kali ditampilkan sebagai objek visual untuk mempromosikan produk tanpa ditampilkan pula kecerdasan, kepribadian, atau potensi lain yang mereka miliki. Seolah-olah penilaian terhadap perempuan hanya dapat diukur dari seberapa menarik visual mereka saja, bukan dari nilai dan harga yang ada dalam diri mereka. Objektifikasi ini tidak hanya mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap perempuan, bahkan perempuan itu sendiri juga merasa bahwa jika dirinya ingin dihargai dan diterima oleh masyarakat, mereka harus selalu tampil dengan fisik yang maksimal dan menarik.
Dalam konteks ini, dampak dari representasi perempuan dalam iklan adalah memperkuat stereotip perempuan. Berdasarkan stereotipnya, perempuan sempurna merupakan perempuan dengan kriteria diantaranya multi tasking, lemah lembut, bijak, penyayang, sabar, dan pemaaf. Selain itu, setiap perempuan harus tampil dengan penampilan cantik paripurna untuk dihargai dan membuat mereka terjebak pada tekanan sosial yang mengharuskan mereka terus-menerus melakukan perawatan diri dengan membeli produk kecantikan. Representasi ini menempatkan penampilan perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan nilai dan status sosial. Padahal peran perempuan jauh lebih kompleks dari itu. Perempuan memiliki potensial dalam bidang pendidikan, karir, keluarga, dan sudah semestinya posisi perempuan diakui oleh media juga masyarakat luas.
Representasi perempuan dalam iklan, atau bukan hanya itu, melainkan persepsi gender terhadap publik mesti ada perubahan. Perubahan dapat dilakukan dengan metode framing. Framing menurut (Entman, 1993) adalah menjadikan suatu bagian informasi tampak lebih menonjol, bermakna, dan selalu diingat dalam memori audiens. Metode framing melalui media massa dan media sosial, di mana media berpengaruh pada perspektif publik. Media memberikan edukasi kepada audiens mengenai pemahaman perspektif gender yang sebaiknya tidak berakhir berbias gender. Salah satu konkret terkait perubahan representasi perempuan dalam iklan yaitu beberapa tahun terakhir iklan telah menampilkan perempuan dengan berbagai bentuk tubuh, warna kulit, bahkan latar belakang asalnya karena adanya kampanye dari gerakan-gerakan ‘body positivity’ yang disuarakan oleh media. Body positivity merupakan sebuah kampanye yang digerakkan oleh komunitas perempuan, di mana komunitas tersebut ingin menetapkan bahwasanya postur tubuh perempuan terlepas dari standar postur tubuh ideal yang berlaku dalam masyarakat agar perempuan bisa merayakan postur tubuh mereka sebagaimana mestinya.
Dengan segala upaya yang dilakukan untuk mengubah perspektif publik terhadap gender melalui media ini diharapkan bisa mengubah cara pandang publik terhadap gender—tidak lagi ada pandangan negatif yang menyudutkan gender— dan menghancurkan stereotip gender yang selalu ditekankan oleh masyarakat. Sama halnya, dari sisi perempuan itu sendiri, berharap perempuan bisa mengubah pandangan mereka terhadap diri sendiri tanpa merasa jika ingin dihargai oleh masyarakat setiap perempuan harus memenuhi standar kecantikan yang tidak realitas. Perempuan memang perlu merawat diri dan tampil rapi tetapi tidak perlu memaksakan untuk memenuhi segala kriteria yang ada. Sebab bagaimanapun penampilannya, perempuan harus mencintai diri mereka sendiri tanpa harus mengubah bentuk aslinya.
Tambahan pula dari sisi representasi perempuan dalam iklan, iklan bisa menjadikan hal ini sebagai pelajaran—bantu menghilangkan stereotip perempuan yang berlaku dan memberi peluang bagi perempuan untuk tampil menjadi diri mereka sendiri yang tidak kalah memukau dengan warna kulit selain putih, tubuh berisi, postur tubuh kecil, dan sebagainya karena mereka tetap perempuan yang cantik dengan segala potensi dalam diri mereka masing-masing.
Daftar Pustaka
Fathoni, M. & Fadillah, D. 2021. Representasi dan Stereotip pada Perempuan Berkulit Gelap dalam Iklan “Fair and Lovely”. Jurnal Audiens, 2(1), 80-87.
Astuti, Y. D. 2016. Media dan Gender (Studi Deskriptif Representasi Stereotipe Perempuan dalam Iklan di Televisi Swasta). Profetik Jurnal Komunikasi, 9(2).
Natanael, D. B. & Indrajaya, F. 2024. Muatan Misoginistik dalam Karya Seni Lukis Edgar Degas sebagai Perspektif Historis untuk Menyoroti Permasalahan Objektifkasi Perempuan dalam Media Sosial dan Periklanan. Journal of Visual Communication Design Study & Practice, 4(1).
Vidyarini, T. N. 2007. Representasi Kecantikan dalam Iklan Kosmetik The Face Shop. Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, 1(2).
Hermawan, H. & Hamzah, R. E. 2017. Objektifikasi Perempuan dalam Iklan Televisi: Analisis Lintas Budaya terhadap Iklan Parfum Axe yang Tayang di Televisi Indonesia dan Amerika Serikat. Jurnal Kajian Media, 1(2), 166-176.
Puspitasari, A. H. & Muktiyo, W. 2017. Menggugat Stereotip “Perempuan Sempurna” : Framing Media terhadap Perempuan Pelaku Tindak Kekerasan. Jurnal Studi Gender, 10(2).
Aridewi, I. A. K. C., Mahadewi, N. M. A. S., & Aditya, I. N. G. A. K. 2024. Konsep Diri Model Perempuan Plus Size yang Tergabung dalam Gunggek Management. Socio-political Communication and Policy Review, 1(4).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H