Mohon tunggu...
Joko Lodang
Joko Lodang Mohon Tunggu... -

Akun ini dikelola oleh kuartet Sarjono, Eko, Marcello, dan Endang (disingkat JOKO LODANG). Kami berempat menolak hegemoni oleh siapapun dan dari apapun.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Perlu Tolak Penetapan Sultan Jadi Gubernur?

15 Mei 2012   05:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:16 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah beberapa bulan terakhir, termasuk hari ini di halaman 5, harian KOMPAS memuat berita tentang keistimewaan DIY, bahkan beberapa bulan yang lalu mengeluarkan liputan khusus selama 8 hari berturut-turut tentang keistimewaan DIY. Terlepas dari agenda-setting masing-masing koran untuk bersikap soal keistimewaan DIY, maka media alternatif seperti KOMPASIANA, sebagai media paling demokratik yang tetap menjunjung etika, diperlukan sebagai alat untuk menyuarakan suara "liyan" dalam kasus keistimewaan DIY ini.

Dominasi sekelompok golongan yang mendukung penetapan sultan jadi gubernur DIY makin lama makin tidak menyehatkan "ruang publik", meminjam istilah Habermas, di tanah bumi Mataram ini. Golongan pro-penetapan yang lebih banyak dikuasai elit politik lokal seperti paguyuban dukuh se-DIY, paguyuban lurah se-DIY, sekretariat bersama Keistimewaan DIY, dan organisasi tanpa bentuk lainnya memang berhasil melakukan propaganda soal penetapan.

Menjadi tidak sehat karena aspirasi penetapan tersebut terasa sekali dilakukan melalui pemaksaan, mobilisasi massa, diseminasi isu yang cenderung fitnah, provokasi yang sudah tidak logis (seperti misalnya mau merdeka dari NKRI), bahkan disertai pula dengan intimidasi. Kasus terakhir intimidasi dilakukan oleh gerakan pro-penetapan yang menyegel SECARA SEPIHAK kediaman Anglingkusumo yang sedang memperjuangkan haknya sebagai Pakualam IX.

Sebenarnya, gerakan pro-penetapan ini hanya dilakukan oleh segelintir orang karena memang nama-nama yang muncul sejatinya adalah "lo lagi, lo lagi". Meminjam istilah Pak Harto jaman Orba, mereka lah "aktor intelektual" gerakan pro-penetapan. Hanya saja mereka pandai untuk mereka-reka berbagai macam organisasi tanpa bentuk untuk menyamarkan kemunculannya di media.

Tapi tulisan kali ini tidak ingin terpancing soal oknum, "aktor intelektual", maupun organisasi-organisasi tanpa bentuk itu. Bukan itu substansinya. Tulisan kami kali ini akan memaparkan mengapa begitu pentingnya bagi kita, khususnya warga Jogja yang di Jogja sendiri maupun yang berdiaspora di Indonesia maupun negara lain, untuk berpikir dengan hati dan akal sehat: MENOLAK PENETAPAN SULTAN SEBAGAI GUBERNUR DIY. Mengapa penting? Simak argumentasi berikut ini dengan baik:

Pertama, jabatan raja dan gubernur harus dipisahkan. Raja adalah jabatan yang sifatnya turun-temurun sementara gubernur adalah jabatan yang seharusnya milik rakyat dan dirotasi mengikuti perkembangan jaman. Kekuasaan sebagai gubernur tidak bisa diwariskan secara turun temurun sebagai raja. Ini jelas menyalahi kaidah aturan kita sebagai negara.

Kedua, jabatan gubernur dan kebijakan yang dikeluarkan itu dibiayai oleh pajak warganya sehingga warga yang sudah membayar pajak tentu sangat sangat berhak untuk menagih dan memberikan koreksi kepada gubernur jika ada penyimpangan ataupun ada janji yang tidak ditunaikan. Raja sebagai gubernur tentu tidak mungkin dikoreksi semacam ini. Itu sama saja merendahkan wibawa Raja.

Ketiga, di masa mendatang, perang terhadap korupsi akan terus kencang baik itu oleh KPK, POLRI, Kejaksaan Agung ataupun oleh pansus DPR dan lain sebagainya. Posisi gubernur yang diemban oleh Sultan bisa rawan dengan kasus-kasus semacam itu. Terbukti, Sultan pernah tersandung skandal proyek CDMA sebesar 7 Milyar yang diusut oleh Dewan Propinsi DIY ketika itu di tahun 2005-2007.

Keempat, tidak ada dalam cerita sejarah Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat bahwa jabatan sultan itu akan dirangkap dengan gubernur selamanya. Yang ada adalah jabatan sultan sebagai raja atau Hamengkubuwono akan terus ada selamanya, tetapi tidak sebagai kepala daerah. Inilah pesan penting Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam sebuah wawancara dengan majalah TEMPO (Oktober 1987). Beliau mengatakan: "Gelar Hamengkubuwono akan terus ada... tetapi tidak perlu sebagai kepala daerah, cukup sebagai raja penjaga budaya dan keluarga". Silakan googling dengan kalimat "hilangnya sang adipati" lalu baca paragraf terakhir.

Kelima, masih mengikuti pesan Sri Sultan HB IX, tanah-tanah di wilayah kerajaan Ngayogyakarta harus mengikuti aturan nasional, yaitu mempersilakan kepada pemerintah pusat untuk memberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria. Artinya, tidak ada yang namanya tanah dikelola kerajaan. Konsekuensi bergabung ke NKRI adalah semua tanah di DIY diatur oleh Badan Pertanahan Nasional. Pendek kata, sertifikasi tanah untuk warga adalah keharusan.

Keenam, tidak bisa menjadikan keputusan-keputusan di dewan kabupaten, kotamadya atau propinsi DIY yang mengatakan mendukung penetapan sultan gubernur sebagai legitimasi untuk mengesahkan RUUK menjadi sesuai keinginan mereka. Kita semua juga tidak buta bahwa proses politik ini sarat dengan paksaan dan intimidasi. Terus terang ini sama saja dengan tirani mayoritas. Tidak heran jika pernah suatu kali Profesor Ichlasul Amal dari UGM merasakan trauma jaman Orde Lama dimana PKI selalu mengandalkan intimidasi dan "grudugan".

Ketujuh, komentar Irman Putra Sidin yang dikutip harian KOMPAS hari ini sangat mengada-ada. Masak "sabdatama" Sultan begitu ringan menjadi satu-satunya alasan untuk mengatakan bahwa keistimewaan DIY itu sudah final. Mengapa tidak tanya kepada rakyat Jogja secara menyeluruh hingga BETUL-BETUL FINAL? Khusus yang satu ini aneh, biasanya pengamat pro-rakyat, mengapa lantas soal ini mendadak pro-elit?

Kedelapan,  efek domino yang perlu dipertimbangkan dan diukur jika sultan ditetapkan selamanya sebagai gubernur adalah tuntutan itu juga bisa dilakukan oleh raja-raja lain yang bisa jadi pengorbanannya untuk NKRI jauuuuuh lebih besar daripada DIY ketika bergabung ke NKRI. Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sulawesi bisa menuntut untuk menetapkan raja-rajanya sebagai gubernur HANYA karena alasan sejarah.

Kesembilan, jika penetapan sultan sebagai gubernur tetap dilakukan, maka urusan siapa yang akan jadi raja dari lingkungan Kraton Sultan dan Kadipaten Pakualaman PASTI akan bermasalah. Jika anda kembali ke sejarah kerajaan Nagari Ngayogyakarta ini, maka dapat disimpulkan bahwa SEMUA SUKSESI HAMENGKUBUWONO ITU BERMASALAH SECARA INTERNAL. Ini yang sering disebut sebagai "paugeran" atau "aturan main dalam Keraton". Jika siapa yang jadi raja saja bermasalah dan dipermasalahkan oleh lingkungan dalam keluarga Keraton sendiri, termasuk seperti di Pakualaman sekarang ini, maka jabatan sebagai gubernur otomatis akan tidak jelas nasibnya.

Untuk sementara demikian SEMBILAN sebab mengapa kita sangat-sangat perlu menolak penetapan sultan sebagai gubernur. Biarkan sultan tetap sebagai raja, namun gubernur dipilih langsung oleh rakyat Jogja yang lebih berdaulat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun