Ketujuh, komentar Irman Putra Sidin yang dikutip harian KOMPAS hari ini sangat mengada-ada. Masak "sabdatama" Sultan begitu ringan menjadi satu-satunya alasan untuk mengatakan bahwa keistimewaan DIY itu sudah final. Mengapa tidak tanya kepada rakyat Jogja secara menyeluruh hingga BETUL-BETUL FINAL? Khusus yang satu ini aneh, biasanya pengamat pro-rakyat, mengapa lantas soal ini mendadak pro-elit?
Kedelapan, Â efek domino yang perlu dipertimbangkan dan diukur jika sultan ditetapkan selamanya sebagai gubernur adalah tuntutan itu juga bisa dilakukan oleh raja-raja lain yang bisa jadi pengorbanannya untuk NKRI jauuuuuh lebih besar daripada DIY ketika bergabung ke NKRI. Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sulawesi bisa menuntut untuk menetapkan raja-rajanya sebagai gubernur HANYA karena alasan sejarah.
Kesembilan, jika penetapan sultan sebagai gubernur tetap dilakukan, maka urusan siapa yang akan jadi raja dari lingkungan Kraton Sultan dan Kadipaten Pakualaman PASTI akan bermasalah. Jika anda kembali ke sejarah kerajaan Nagari Ngayogyakarta ini, maka dapat disimpulkan bahwa SEMUA SUKSESI HAMENGKUBUWONO ITU BERMASALAH SECARA INTERNAL. Ini yang sering disebut sebagai "paugeran" atau "aturan main dalam Keraton". Jika siapa yang jadi raja saja bermasalah dan dipermasalahkan oleh lingkungan dalam keluarga Keraton sendiri, termasuk seperti di Pakualaman sekarang ini, maka jabatan sebagai gubernur otomatis akan tidak jelas nasibnya.
Untuk sementara demikian SEMBILAN sebab mengapa kita sangat-sangat perlu menolak penetapan sultan sebagai gubernur. Biarkan sultan tetap sebagai raja, namun gubernur dipilih langsung oleh rakyat Jogja yang lebih berdaulat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H