Mohon tunggu...
Faiz Amanatullah
Faiz Amanatullah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UMY

Hanya seorang mahasiswa kampus matahari terbit (UMY). Jurusan Pendidikan Agama Islam Announcer and Reporter MQ FM JOGJA (92.3 FM) yaaa sehari-hari aktif di Himpunan Mahasiswa Islam Udah gitu aja Motto: Sunyi adalah bunyi yang sembunyi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Isra' Mi'raj Ditengah Krisis Kepemimpinan Bangsa

11 April 2019   21:39 Diperbarui: 11 April 2019   22:22 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu hal lagi yang menjadi makna paling penting dari hikmah shalat berjamaah yang memuat nilai persatuan dan kesatuan adalah ketika di akhir shalat kita mengucapkan salam ke kanan dan kiri. Salam sendiri mempunyai arti mendamaikan dan menyelamatkan. Artinya, sebagai seorang Muslim ketika kapan pun dan di manapun haruslah memberikan energi positif berupa keselamatan dan kedamaian. Suatu hal yang sangat disayangkan oleh umat Islam itu sendiri adalah mengabaikan makna dari mengucapkan salam.

Ketika kita mengucapkan salam, secara tidak langsung kita sudah mengikat sebuah janji yang sakral bahwa kita janji akan saling mendamaikan dan saling menyelamatkan. Dengan mengucapkan salam juga kita sudah berjanji untuk menegasikan segala bentuk kebencian dan konflik sesama umat manusia. Sehingga, di akhir salam ada kalimat "warahmatullahi wabarakatuh" (Mendapatkan rahmat Allah dan keberkahan). Maka, dengan saling berjanji untuk saling menyelamatkan dan memberi kedamaian akan muncul istilah Baldattun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Negara yang baik dan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.

Pemimpin yang Mencerdaskan

Persoalan tentang eksistensi dan esensi manakah yang didahulukan? Tentu ada berbagai opini, karena setiap nurani mempunyai cara tersendiri. Seperti gelas yang mendahulukan esensi, tapi seiring waktu berjalan eksistensi pun muncul dari hati gelas yang kemudian muncul istilah gelas cantik. Perihal dalam mendambakan seorang pemimpin tertinggi di negara, haruslah kita memilih seorang pemimpin yang cerdas dan mencerdaskan. Karena saat ini, negeri ini membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mencerdaskan.

Dalam UUD 1945, presiden haruslah mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika pemimpin tersebut gagal, berarti ia telah melakukan kejahatan yang sangat besar, yaitu membuat anak bangsa gagal cerdas. Konstitusi memberikan tugas kepada pemimpin negara untuk mencerdaskan bangsa, jadi ini bukan tujuan negara, tapi tugas untuk pemimpinnya. Artinya, si pemimpin harus punya kemampuan untuk mengaktifkan akal pikirannya 24 jam sehari. Jika gagal, dia sudah melanggar konstitusi.

Bayangkan saja, jika sekadar menanyakan nama-nama ikan, itu justru akan mendungukan kehidupan bangsa. Pertanyaan itu seharusnya yang bisa merangsang pikiran, misalnya "kenapa ikan tidak bisa naik pohon?". Kejahatan tertinggi seorang pemimpin kalau mempertahankan kedunguannya, sehingga mengakibatkan bangsa ini kehilangan IQ setiap hari.

Sebuah bangsa agar mempunyai tradisi dialektika dan intelektual maka harus dimulai dari pemimpin tertinggi dan pusat kekuasaan, yaitu Istana. Seharusnya sosok yang diundang pun harus yang kompeten dan dapat mendorong budaya progresivitas, bukan rekan politik yang hanya membahas tentang kekuasaan dan eksistensi.

Kita mendambakan sosok orang yang menghasilkan retorika, logika, dan metafora. Dalam tradisi presiden-presiden Prancis, mereka setiap minggunya kerap kali mengundang seorang wartawan cerdas, dosen yang bagus, seniman bermutu, dan melakukan diskusi di senja hari. Filsuf pun diundang. Jadi, presiden setiap harinya menghasilkan kecerdasan karena memiliki tradisi berpikir. Dia juga tahu perkembangan mutakhir. Sedangkan tradisi presiden kita adalah mengundang pelawak dan partai pendukung, sehingga yang timbul hanya kekonyolan di Istana Negara.

Maka dari itu, pemimpin harus mempunyai kalimat tangguh. Misalnya dengan mengganti pertanyaan dengan, "mengapa ikan tidak bisa naik pohon?". Itu menimbulkan kuriositas kepada anak didik. Sehingga sepulang sekolah mereka akan mendiskusikan dengan temannya. Orang tuanya akan dilibatkan dengan pertanyaan tadi dan memaksa orang tua untuk mencari literatur agar anak didik itu paham, gurunya akan dia ganggu. Namun, hari ini peserta didik pulang dengan rasa bahagia karena mendapatkan sepeda, bukan karena kenikmatan berpikir.

Begitulah kiranya hikmah dari Isra' Mi'raj. Bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sebagai pemimpin sekaligus pendidik yang keunggulannya bisa kita terapkan hingga sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun