Mohon tunggu...
Faiz Amanatullah
Faiz Amanatullah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UMY

Hanya seorang mahasiswa kampus matahari terbit (UMY). Jurusan Pendidikan Agama Islam Announcer and Reporter MQ FM JOGJA (92.3 FM) yaaa sehari-hari aktif di Himpunan Mahasiswa Islam Udah gitu aja Motto: Sunyi adalah bunyi yang sembunyi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyongsong Peradaban Baru ala Prof. Kuntowijoyo

5 Maret 2019   17:31 Diperbarui: 5 Maret 2019   18:54 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada lembaga pendidikan Islam, nilai pendidikan profetik secara tidak langsung pada dasarnya telah diterapkan, hanya saja metode pendidikan yang dipakai kerap memenjarakan peserta didik pada kualitas kognisi saja, bukan pada pemahaman Islam yang paripurna. Muaranya tentu siswa tidak terbentuk sebagai pribadi muslim yang utuh, parsial dan tidak adaptif dengan perkembangan zaman, tentu efek yang ditimbulkan ialah ketidakmampuan intelektual muslim dalam upaya transformasi sosial atau hanya mampu untuk membaca realitas sosial saja, agama terpenjara di masjid, ia tak bebas di ruang publik mengadakan perbaikan. Persoalan ini ditambah dengan kualitas para guru yang tidak mampu "memahamkan" siswa mengenai agama secara koheren. Tentu kritik ini mesti diberikan pada lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, harusnya pesantren mampu menghasilkan produk manusia muslim yang sadar akan perannya sebagai pelaku perubahan sosial /transformasi sosial (khalifah).

Tiga pilar profetik yang dirumuskan oleh Prof. Kuntowijoyo dari surat Al-Imron ayat 110, ada 3 pilar utama, yakni:

Pertama, Amar ma'ruf (humanisasi). Dalam konsep ini, amar ma'ruf dihadirkan agar manusia dapat perlakukan sebagaimana dirinya sebagai manusia, manusia yang berakal dan berperasaan. Dalam dialog sejarah kita bisa melihat kembali betapa Nabi mendakwahkan Islam dengan kalimat yang santun, komunikatif dan tidak intimidatif, beliau benar-benar memandang orang lain sebagai manusia dan memperlakukannnya jua sebagai manusia. Perilaku-perilaku yang tidak manusiawi (dehumanisasi) menjadi tugas Nabi untuk mengentaskannya secara perlahan tanpa melukai nilai kemanusiaan itu sendiri.

Kedua, nahi munkar (Liberasi). Liberasi adalah proses pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Pembebasan disini tentu memiliki keluasan makna, seorang pendidik bertugas membebaskan peserta didik dalam "ketidaktahuannya", kamandegan dan kehidupannya yang statis melalui metode pendidikan yang tidak memaksakan. saya sendiri berpendapat bahwa tugas pendidikan jua adalah membebaskan peserta didik dalam pandangan agama yang teramat tekstual. Tentu upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana merelevansikan teks-teks Al-Quran dalam realitas kehidupan peserta didik. Artinya, menurut penulis "memenjara" peserta didik dalam pemahaman tekstual akan menjadikannya beku dalam menelaah keadaan sosial.

Ketiga adalah tu'minuna billah (Transendensi). Dalam Q.S Al-Imran : 103, Allah menegaskan kepada manusia untuk berpegang teguh pada (agama) Allah serta tidak bercerai berai. Dalam hal ini, seorang muslim harus mampu menyelami kedalaman Tauhid, mendekatkan diri dengan Tuhan sebagai proses transendensi, ikatan bersama Tuhan inilah yang memberikan motivasi dan energi pada manusia untuk mengarungi proses sejarah. Iman yang mendasar dalam dirinya seorang manusia akan menjadikannya sadar akan esensi keberadaan dirinya. Dalam praksis pembelajaran, pendidik dalam hal ini diharapkan mampu meningkatkan nilai tauhid peserta didik.

So, melalui bidang pendidikan yang masif, akan terbentuk manusia yang sadar betul akan kehadirannya di muka bumi. Kalau kata Buya HAMKA "Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja". Tinggal anda pilih mau jadi manusia atau anu.

Kualitas Pendidikan dan ilmu pengetahuan yang ada di suatu negara, akan mempengaruhi kapasitas otak masyarakatnya. Namun sayangnya, jahatnya pendidikan di Indonesia adalah ketika setiap siswa tidak bisa yakin bahwa dia mempunyai kemampuan berbeda dengan siswa yang lainnya, dan hal ini tidak lain dan tidak bukan dikarenakan oleh sistem pendidikan Indonesia yang memaksakan peserta didika agar mempunyai kecerdasan yang kolektik dan terkesan memaksakan peserta didik untuk melahap segala macam pelajaran.

Ada sebuah cerita yang mungkin ini bisa menggambarkan keadaan sistem pendidikan di Indonesia. "Dahulu ada seorang raja si sebuah negara. Di setiap malamnya dia memberi kesempatan kepada rakyatnya untuk tidur di kasur atau tempat tidur raja tersebut, ketika seseorang yang tidur di kasurnya dan tinggi badannya melebih panjang kasur tersebut, maka kaki orang tersebut di potong, agar badannya sejajar dengan kasur si raja itu. Kemudian, apabila terdapat orang yang tidur di kasur tersebut, namun badannya lebih pendek dari kasur itu, maka raja itu akan menarik badan orang itu hingga badannya sejajar dengan kasur". Begitulah kiranya pendidikan di Indonesia, ingin mencerdaskan anak bangsa, namun dengan ukurannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun