Arif saifudin yudistira
Saya menyimpan memori yang cukup untuk kutulis. Memori ini adalah memori kemiskinan. Selain kisah bapak saya yang penuh dengan traumatic orang miskin, udik ,dan makanan yang sehari-hari dulu makan adalah kisah kemiskinan yang tragis. Kakek dan nenek di waktu dulu makan dengan telur satu butir dicampur dengan garam satu kepal, dibagi dengan banyak anaknya waktu itu, satu irisan tipis untuk nasi yang penuh satu piring besar. Dan di saat itulah kemiskinan dinikmati dengan senyuman.
Kemiskinanku beda dengan kemiskinan ayahku, computer yang aku pakai ngetik ini adalah computer kantor yang dipinjam dan dimanfaatkan ayah untukku menulis. Begitupun ketika aku kuliah, aku ingat betul kejadian kos di kampus , hidup di kampus , semua di kampus dengan alasan tak ada uang untuk kos, uang untuk makan diirit-irit. Kisah traumatic ini harus ku tuangkan, untuk mengingat bahwa aku pernah mengalami masa sulit.
Begitupun di rumah, sering aku mengalami dan merasa seperti mendapat kutukan dan angin besar. Aku anak pertama, laptop punya adek harus kubawa, buku-buku tak spenuhnya punya ku, hutang menumpuk, dan untuk membuat sim saja aku harus meminjam adikku, dan ketika lolos ujian teori, praktek tak lolos, dan dipancing polisi untuk nyogok, nyogok atau nyuap pakai apa? Aku tak tahu.
Hutang menyiksa, ingatan akan hutang pun membawa trauma. Aku hidup di organisasi, aku punya utang, dan ingin utang lagi, utang ku belum lunas, ada uang 100 ribu, aku tak punya uang betul, aku sampai memohon, tak ada uang turun, bendahara memakai alas an administrative untuk melarangku utang, mereka takut pada kreditur macet, aku tak menyalahkannya, trauma menyiksa. Di saat aku wisuda justru hutang menghadang, keinginan terhadap buku ngiler, tak kesampaian. Aku haus ilmu. Buku-buku seperti suluh dan penghiburan di saat aku banyak utang.
Hidup harus berjalan meski banyak utang, banyak halangan, kepada para kreditur ku dan orang-orang yang menghutangiku organisasi, personal, tak akan kulupakan jasa teman-teman semua. Semua kucatat agar aku tak lagi trauma, dan bisa mengentaskan orang-orang yang berhutang. Aku tak mau seperti Negara yang rutin mengutang, tapi jarang mengangsur. Tapi kini aku bekerja melalui tulisan, siapa yang mau membayar tulisan, siapa yang mau menerbitkan ide?. Ah, itu pertanyaan klise kata guru nulisku, Tuhan tak akan menutup jalan bagi orang yang tak berhenti mencari singgungan atau tikungan.
Aku jadi ingat orang yang hutang buku terhadapku. Semoga saja ia sadar ,dan untuk itu aku dengan penuh kesadaran merelakan dan berdoa semoga kelak ia ingat dan Alloh mengganti yang lebih banyak
*)penghutang, tinggal di klaten
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H