Meskipun memiliki kedudukan sebagai pusat aktivitas nasional, Jakarta tetap tidak dapat lepas dari segudang permasalahan sosial yang serius. Dengan situasi saat itu negara masih sangat muda, Jakarta mengalami ketidakstabilan politik, rangkaian tindak pidana hingga kemerosotan ekonomi. Di tengah kondisi seperti ini, pki ingin hadir sebagai sebuah partai yang tampil beda dibandingkan dengan Partai lain.
Bagi pki, Jakarta memiliki arti yang sangat penting karena merupakan tempat stategis untuk menunjukkan kekuatan yang sedang dibangun pki. Maka dari itu, pada tahun 1950an, pki melakukan sejumlah pembenahan internal yang menyangkut organisasi hingga proses ideologisasi kader-kadernya. Pembenahan ini termasuk pula organisasi Comite Djakarta Raya (cdr).
Melalui pleno pada Oktober 1953, cc pki menginstruksikan Comite Djakarta Raya (cdr) untuk mengadakan perluasan lingkup anggota sebanyak lima kali dari jumlah yang ada sejak enam bulan. Perluasan lingkup ini dilakukan dengan mengadakan riset terkait kondisi sosial di Jakarta. Setiap anggota cdr yang akan melakukan riset ke lapangan akan diberi selebaran petunjuk serta harus berpedoman pada semboyan "tiga sama": sama makan, sama bekerja dan sama tidur.
Hasil riset tersebut memperlihatkan bahwa Jakarta masih dihadapkan pada permasalahan sosial yang sangat serius, diantaranya mengenai masalah kualitas manusia berdasarkan tingkat pendidikannya, maraknya kasus pencurian, kesulitan membeli kebutuhan pokok. Cdr berkesimpulan kaum miskin kota di Jakarta perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini karena kaum miskin kota sangat kurang kesadaran politiknya, sedangkan mereka memerlukan pimpinan aksi untuk menyuarakan ketertindasannya.
Cdr menyadari bahwa kesadaran politik rakyat, khususnya kaum miskin kota harus dibangun melalui aksi politik. Maka dari itu, cdr membuat target agar partai harus segera selesai mendengarkan suara rakyat pada akhir Desember 1956 agar dapat menentukan program politik beserta panitia-panitia aksi.
Pada tahun 1961 bertempat di Gedung SBKA Manggarai, cdr mengadakan musyawarah untuk merumuskan program politik dengan menyerap peran serta elemen masyarakat Jakarta ditingkat bawah yang terdiri dari buruh, petani, kaum miskin kota dan pemuda rakyat. Suara yang dihimpun, babtinya akan ditindak lanjuti dengan penyampaian kepada pihak terkait, seperti melalui demonstrasi juga mengirim surat. Tuntutan yang dihimpun menyangkut permasalahan banjir, kebutuhan pokok, angkutan kota, tempat pedagang kecil, hingga masalah pembebasan Irian Barat.
Aktivitas politik yang dilakukan cdr di Jakarta membuktikan bahwa Jakarta memiliki karakter sosial tersendiri yang bisa menjadi penentu jalan politik sebuah ideologi. Karena keragaman basis sosial di Jakarta, cdr memilih penggerakan massa dengan program yang mesti mendapat pembaharuan terus-menerus melalui kegiatan kritik-otokritik.
Sumber : Satriono Priyo Utomo, Suara "Merah" Ibu Kota: Geliat Politik Partai Komunis Indonesia Comite Djakarta Raya. Jurnal Lembaran Sejarah UI Volume 12 Number 1 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H