Menarik menyimak tradisi mudik para perantau dari Madura yang kerapkali menyebutnya dengan istilah ‘toron.’ Menerjemahkan istilah ‘mudik’ ini ke dalam bahasa Inggris, ternyata sama susahnya dengan mencari padanan kata ‘gotong-royong’. Kegiatan yang kiranya membuat sebagian besar dari kita sibuk di hari-hari terakhir bulan Ramadhan ini. Lebaran selalu bisa menjadi alasan kuat untuk pulang ke kampung halaman.
Jika ‘gotong-royong’ merupakan serapan dari bahasa Jawa, yang berkaitan dengan budaya komunal orang Indonesia, konon, ‘mudik’ berawal dari kata ‘udik’, berasal dari bahasa Melayu pasar sebelum dibakukan menjadi bahasa Indonesia. Awalan ‘m-’ di depannya menunjukkan kata kerja yang kira-kira artinya adalah menuju ke udik. Ini ada kaitannya dengan kebiasaan penyebutan nama daerah di Jakarta kuno ketika masih bernama Batavia.
Konon, berdasarkan jalur perdagangan hasil bumi, nama-nama daerah di Batavia dibagi menjadi ilir dan udik. Ilir adalah pusat kota, yang terletak di bagian utara Batavia sekaligus yang paling jauh dari kaki gunung. Dan udik adalah daerah-daerah yang berada di sebelah selatan, di luar tembok kota, yang terletak di kaki-kaki gunung. Pasokan hasil bumi di ilir, atau kota, berasal dari daerah-daerah udik di selatan, melalui jalur sungai. Karenanya muncul istilah milir-mudik, yang artinya bolak-balik dari hilir ke udik, dan sebaliknya.
Dari sini kiranya kita bisa menangkap maksud dari istilah ‘mudik’, atau menuju ke udik. Kita memang kerap melontarkan istilah ‘udik’ yang bermaksud konotatif kampungan atau norak. Namun sejatinya menuju ke udik bermakna harfiah menuju ke hulu, naik ke kaki-kaki gunung, menjauh dari pusat keramaian kota. Kiranya ini erat kaitannya pula dengan kultur urban, ketika orang berbondong-bondong turun dari kampung-kampung di kaki gunung menuju kota untuk mencari pekerjaan.
Konsep serupa sejatinya juga kita dapatkan dari peristilahan ‘downtown’ dan ‘uptown’ dalam bahasa Inggris. ‘Downtown’ adalah sebutan untuk pusat kota, sebaliknya menuju ‘uptown’ adalah menuju ke desa. Disebut ‘down-’, yang berarti rendah atau turun, karena kota, tempat orang-orang merantau, secara geografis dimaknai memiliki ketinggian lebih rendah dari kampung halaman di dataran tinggi yang lebih sepi.
Lalu, bagaimana dengan peristilahan dalam bahasa Madura? Kiranya kita menemukan konsep tinggi-rendah, desa-kota dan rantau-rumah yang sedikit berbeda dibanding bahasa Melayu dan bahasa Inggris.
Madura lekat dengan kultur rantau, karenanya ia dekat pula dengan tradisi mudik, tradisi pulang ke kampung halaman, ke pulau Madura. Orang Madura memiliki istilah sendiri untuk ‘mudik’, yakni ‘toron’, yang dalam bahasa Madura justru berarti turun. Ini yang tidak kita dapatkan dari istilah ‘mudik’ maupun ‘uptown’. Keduanya mengimplikasikan bahwa pusat kota, sebagai daerah rantau, secara geografis berada di ketinggian lebih rendah. Sedangkan desa sebagai kampung halaman berada di dataran tinggi. Sebaliknya, melalui ‘toron’, orang Madura justru memaknai rumah mereka berada di ketinggian yang lebih rendah daripada tempat mereka merantau.
Belum diketahui secara pasti sejak kapan istilah ‘toron’ ini muncul. Apakah ada kaitannya pula dengan mitos dalam babad Madura yang menyatakan bahwa kata ‘madura’ berasal dari ‘lemah dhuro’ atau tanah ‘dhuro’. ‘Dhuro’ sendiri berarti antara ada dan tiada, timbul dan tenggelam, sebagai efek dari ketinggian tanah diukur dari permukaan air laut, sehingga tampak ketika air laut surut, dan hilang ketika air laut pasang.
Namun, kiranya dari penggunaan istilah ‘toron’ ini kita bisa belajar menjadi rendah hati tanpa menjadi rendah diri. Sebab dengan menempatkan rumah, sebagai representasi diri, yang berada lebih rendah dari tanah rantau atau asing, sejatinya kita sedang menghormati orang lain, dengan menempatkan mereka pada posisi yang lebih tinggi.
Berkaitan dengan mudik ke kampung halaman, ada tiga hari istimewa yang menjadi alasan warga Madura yang merantau untuk kembali pulang ke pulau Madura. Yakni hari raya Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi SAW, hari perayaan kelahiran sang nabi. Dari ketiganya, memang yang menyedot paling banyak perantau untuk mudik ke Madura adalah hari raya kurban, atau Idul Adha.
Momen yang bisa dikatakan sebagai momen puncak dari Idul Fitri umumnya terjadi pada bulan Syawal hari ketujuh. Kerap disebut tellasan topa’ atau lebaran ketupat. Momen ini lebih sering dianggap sebagai acara pamungkas, sebagai penutup ritual saling memaafkan pada perayaan Idul Fitri. Momen ini pula yang membuat para perantau Madura untuk ‘toron’ justru setelah shalat Idul Fitri di tanah rantau.
Meski demikian, kiranya semangat ‘toron’ bisa menjadi bekal kita untuk menyambut hari raya Idul Fitri. Yakni semangat untuk mengalahkan diri, mengendapkan ego, utamanya ketika kita mengulurkan tangan untuk meminta sekaligus memberi maaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H