Apa yang paling dirindukan tiap harinya di bulan Ramadhan? Mungkin salah satunya adalah adzan Maghrib, waktunya berbuka. Matahari sudah hampir tergelincir di ujung barat, lampu-lampu jalan satu per satu menyala. Makin gelap, makin ramai saja kerumunan orang-orang di sekitar Monumen Trunojoyo, Sampang.
Titik nol kilometer Kabupaten Sampang ini memang tempat favorit warga Sampang untuk melepas sore. Banyak anak muda yang memanfaatkan tempat ini untuk kopi darat dengan teman-teman sepermainan. Terlebih lagi di bulan Ramadhan, makin beragam saja kuliner yang ditawarkan para pedagang kaki lima, mulai takjil, camilan-camilan ringan, hingga makanan berat, makin tak sabar menunggu bedug.
Saya pikir, jam-jam menjelang sore seperti ini memang sangat strategis. Cuacanya pas, tidak terik sekaligus masih cukup terang. Cocok sekali untuk agenda kumpul-kumpul, terlebih bulan puasa seperti ini, siapa yang tak menikmati acara kumpul-kumpul sambil menunggu waktunya berbuka, waktunya makan.
Mungkin karena ini pula kita butuh satu istilah khusus untuk memudahkan penyebutan. Dalam ragam informal bahasa Indonesia, kita menyebutnya ngabuburit, dari kata ‘burit’ yang artinya sore dalam kosakata bahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda, imbuhan ‘nga-’ dan pengulangan suku kata pertama ‘bu’ ini bermakna pengulangan. Kurang lebih dalam bahasa Indonesia berarti ‘nyore’, menikmati waktu sore.
Lain daerah, lain lagi penyebutannya. Orang Madura menyebut jam-jam menunggu berbuka ini dengan istilah ‘nyare malem’, yang secara literer berarti ‘mencari malam’. Memang terdengar unik, apakah malam pernah hilang sehingga perlu dicari. Kenapa bukan ‘ngatos malem’, misalnya, yang artinya menunggu malam. Tapi, bukankah tidak ada benar-salah dalam bahasa, yang ada hanya diterima atau tidak diterima. Bahasa yang benar adalah bahasa yang dipahami oleh penuturnya.
Konon, istilah ‘nyare malem’ ini tidak merujuk pada 1-2 jam menjelang waktu berbuka saja, tapi seluruh hari hingga adzan Magrib. Menghabiskan sepanjang hari dengan berdiam atau menunggu bedug Magrib tentu menjemukan. Maka, dicarilah malam itu dengan melakukan berbagai kegiatan, supaya ‘kasalemoran’, supaya kejemuan teralihkan. Salah satunya tentu mendaras Al-Quran.
Namun, zaman dulu, di bulan puasa, orang-orang dewasa juga menghabiskan hari dengan melakukan perjalanan hingga ke lereng, yang disebut ‘besikar’, atau menelusuri jalan hingga ke pantai. Sepulangnya ke rumah, malam yang dicari sudah hampir tiba.
Tak hanya besikar, anak-anak juga punya kesibukannya sendiri sambil menunggu waktu berbuka, yakni dengan bermain. Mereka biasa memainkan permainan tradisional yang disebut ‘giling-gilingan.’ Sejenis gerobak super mini yang dimainkan dengan cara didorong.
Selain besikar dan giling-gilingan, ada pula tradisi ‘ghudur-ghudur’, yakni menabuh bedug ramai-ramai dengan irama tertentu. Ghudur-ghudur ini dilakukan selepas shalat Tarawih, yang menandakan bahwa ibadah sembahyang Tarawih sudah usai.
Kiranya, ghudur-ghudur ini yang sampai sekarang masih tetap ada. Umumnya oleh anak-anak kecil selepas Tarawih sambil menunggu giliran membaca Al-Quran waktu tadarus. Besikar atau perjalanan ke lereng atau pantai sudah teratasi oleh kesibukan pekerjaan. Sekarang, orang-orang nyare malem pada beberapa jam sebelum bedug Maghrib, pada sisa-sisa waktu luang selepas kerja hingga waktu berbuka.
Di Sampang sendiri ada beberapa tempat favorit anak-anak muda untuk nyare malem, termasuk tempat-tempat wisata seperti Goa Camplong atau Pantai Nepa yang relatif dekat dengan daerah kota. Tapi Monumen Trunojoyo tetap tak kalah saing sebagai pusat ngabuburit orang-orang Sampang.
Mungkin juga karena tak jauh dari masjid sehingga selesai berbuka orang-orang bisa segera sembahyang Maghrib. Lagi pula kerap ada acara bazaar takjil di sisi selatan Monumen Trunojoyo, alternatif menu berbuka menjadi semakin bertambah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H