Mohon tunggu...
Kauleh Torul
Kauleh Torul Mohon Tunggu... -

Torul bernama asli Ir. M. Matorurrozaq M.MT, dilahirkan di Jrengik Kabupaten Sampang, putra sulung almarhum H. Moh. Ismail Muzakki mantan anggota DPR RI dari fraksi PPP. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga berpendidikan. Ia adalah alumnus pesantren dan tercatat sebagai konsultan teknik sukses. Ia mempunyai modal dengan segenap pengalamannya sebagai pengusaha dan konsultan profesional yang mengerti betul tentang teknis, sistem manajemen keuangan dan budaya birokrasi yang ada. Torul adalah salah satu kandidat bakal calon Bupati Sampang pada Pilbup Sampang 2018. Prinsipnya kepemimpinannya sederhana, jika kepala tegak dan tegas, maka bawahan akan mengikuti gerakan kepala, yakni tegak dan tegas pula serta berprilaku baik dan bersih.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tradisi Unik Menyambut Ramadan di Indonesia

22 Mei 2017   15:22 Diperbarui: 22 Mei 2017   15:35 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramadan 1438 H di Sampang Madura

Kurang lebih seminggu lagi umat muslim akan menyambut bulan Ramadan. Di Indonesia, Ramadan memiliki keunikan tersendiri karena setiap suku memiliki tradisinya masing-masing.

Salah satunya adalah ziarah kubur yang biasa dilakukan menjelang Ramadan tiba atau akhir Sya’ban. Sebagian orang mengistilahkan tradisi ini sebagai kosar (sekitar Jawa Timur), arwahan, nyekar (sekitar Jawa Tengah), munggahan (sekitar Sunda) dan lain sebagainya. Tradisi semacam ini menjadi semacam kewajiban yang bila ditinggalkan serasa ada yang kurang dalam melangkahkan kaki menyongsong puasa Ramadhan.

Sejatinya, pada masa awal-awal Islam, Rasulullah SAW memang pernah melarang umat Islam berziarah ke kuburan, mengingat kondisi keimanan mereka pada saat itu yang masih lemah, mengingat kondisi sosiologis masyarakat Arab masa itu yang pola pikirnya masih didominasi dengan kemusyrikan dan kepercayaan kepada para dewa dan sesembahan. Rasulullah SAW mengkhawatirkan terjadinya kesalahpahaman ketika mereka mengunjungi kubur baik dalam berperilaku maupun dalam berdoa. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, alasan ini semakin tidak kontekstual dan Rasulullah pun memperbolehkan berziarah kubur.

Hukum dasar dibolehkannya ziarah kubur dengan illat (alasan) ‘tazdkiratul akhirah’ yaitu mengingatkan kita kepada akhirat. Oleh karena itu dibenarkan berziarah ke makam orang tua dan juga ke makam orang shalih dan para wali, selama ziarah tersebut dapat mengingatkan kita kepada akhirat. Begitu pula ziarah ke makam para wali dan orang shaleh merupakan sebuah kebaikan yang dianjurkan dan juga merupakan modal yang bagus untuk mempersiapkan diri menyongsong bulan Ramadhan.

Selain ziarah, beragam suku di Indonesia juga memiliki ritual unik masing-masing ketika Ramadan. Di Aceh, misalnya, ada tradisi ‘Meugang’, yang biasanya dilakoni dua hari menjelang masuknya bulan Ramadan. Meugang adalah ritual makan daging kerbau sebelum Ramadan tiba. Biasanya ritual tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan dana secara kolektif untuk membeli kerbau, lalu dimakan bersama-sama. Bagi orang yang tergolong mampu secara finansial, tak jarang mereka memberikan sumbangan kepada masyarakat yang kurang mampu agar dapat ikut serta menikmati tradisi ‘Meugang’.

Di sebagian masyarakat Surabaya, ada tradisi ‘Megengan’, yaitu makan kue apem saat menyambut kedatangan Ramadan. Konon, kosa kata apem berasal dari kosa kata bahasa Arab ‘Afwan’ yang berarti maaf. Kue apem dijadikan simbol dan momentum meminta maaf kepada sanak saudara sebelum memasuki bulan Ramahan. Acara makan apem bersama ini biasanya dilanjutkan dengan bersalam-salaman dan tahlilan.

Sementara itu di Banyumas, ada tradisi sambut Ramadan yang disebut ‘Perlon Unggahan’. Yaitu tradisi makan besar bersama-sama. Makanan khas yang disajikan berupa nasi bungkus, serundeng sapi, dan sayur becek. Yang unik, serundeng sapi dan sayur becek biasanya harus disiapkan oleh belasan pria dewasa.

Ada pun di Jawa Barat, ada tradisi ‘Mungguhan’, yaitu berkumpul bersama anggota keluarga, sahabat dan bahkan teman-teman untuk saling bermaaf-maafan sambil menikmati sajian makanan khas. Tradisi ini konon sudah berlangsung lama, dan dilakukan oleh kalangan masyarakat berbagai tingkatan dalam menyambut datangnya Ramadan.

Dari tanah Betawi juga ada tradisi ‘Nyorog’ yang kini nyaris tak terdengar. Tradisi ‘Nyorog’ adalah aktivitas membagi-bagikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua, sebelum datangnya bulan Ramadan. Bingkisan tersebut biasanya berisi bahan makanan seperti kopi, susu, gula, termasuk daging kerbau, ikan bandeng, dan lainnya. Mereka memaknai tradisi ini sebagai tanda saling mengingatkan, bahwa bulan Ramadan segera tiba.

Di kabupaten Sumenep, Madura, ada tradisi menyambut Ramadan yang bernama ‘Ter-ater’, yakni sebuah kebiasaan saling mengantarkan makanan kepada sesama kerabat dan tetangga dekat. Jenis makanan yang diantarkan tak harus mewah. Bisa berupa sepiring nasi putih dan opor ayam, atau nasi yang ditumpangi ketan hitam. Pengantar makanan dan penerima, biasanya saling meminta maaf setelah terjadi serah terima makanan. Acara berlanjut dengan ziarah kubur. Di kuburan, mereka mengaji, bertahlil dan berdoa.

Di Sumatera Barat, ada tradisi unik lain yang dinamakan ‘Manjalang’. Tradisi ini berlaku untuk wanita Minang yang sudah menikah diwajibkan membawa lemang ke rumah mertuanya, satu atau dua minggu sebelum Ramadan tiba. Selain lemang ada juga rendang, ayam goreng, ikan goreng, sari kayo kuah lemang yang terbuat dari gula tebu rebus dengan potongan nangka.

Di Gorontalo, juga terdapat tradisi dalam Ramadan. Akan tetapi, tradisi ini biasanya dilakukan sejak tiga malam sebelum Ramadan berakhir. Tradisi ini dinamakan ‘Tumbilo Tuhe’, yakni semacam acara mendekorasi kampung dengan memasang ratuasan lampu berwarna-warni di tepian jalan, terutama jalan yang menuju masjid atau mushala. Lampu-lampu tersebut terbuat dari botol beling bekas berukuran kecil yang diisi minyak.

Kata ‘Tumbilo Tuhe’ berasal dari bahasa Gorontalo, yaitu tumbilo yang bermakna pemasangan, dan tuhe yang artinya lampu. Ini adalah adat yang berlangsung sejak abad ke-15, atau pada masa awal masuknya Islam di Gorontalo. Dari riwayatnya, lampu yang dimaksud tentu saja bukan lampu listrik, melainkan lampu tradisional berbahan bakar minyak.

Sejatinya, ‘Tumbilo Tuhe’ berkisah tentang ajakan bagi umat Islam di Gorontalo untuk semakin meramaikan masjid di hari-hari menjelang Ramadan berakhir. Karena pada masa itu belum ada penerangan di jalan, dipasanglah lampu (tumbilo tuhe) di jalan-jalan yang mengarah ke masjid atau mushala. Tujuannya jelas agar umat Muslim jalannya semakin terang dan mudah untuk melangkah ke masjid atau mushala.

Tentu masih banyak tradisi unik lain dalam menyambut Ramadan di berbagai daerah di Indonesia. Hemat saya, kekayaan kultural ini seharusnya dapat membuat kekhusyukan ibadah Ramadan menjadi lebih menyenangkan dan bukan justru menambah runcing polemik sikap saling memaksakan penghormatan.

Selamat menyambut bulan suci Ramadan 1438 hijriah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun