Rasisme bukanlah suatu fenomena baru dalam kehidupan bermasyarakat termasuk dalam kajian hubungan internasional. Rasisme seolah sudah mendarah daging dalam kehidupan sosial dan seperti sah-sah saja tanpa ada banyak solusi yang muncul. Rasisme merupakan suatu fenomena dimana adanya diskriminasi yang difokuskan pada perbedaan ras yang dimiliki seseorang bahkan sampai pada titik dimana adanya hinaan yang diberikan kepada kelompok tertentu dengan dasar adanya perbedaan warna kulit, bentuk fisik dan faktor lainnya.
Sejarah mencatat bahwa rasisme muncul karena adanya proses pembentukan ras (race-making) yang akhirnya menimbulkan persepsi bahwa manusia harus dibagi menjadi beberapa tingkatan tertentu sehingga menciptakan stratifikasi yang didasarkan pada kekuasaan. Seiring berjalannya waktu, kelompok yang memiliki warna kulit putih dianggap lebih tinggi karena persepsi warna "putih" merupakan simbol dari kebaikan dan kesucian yang tidak dimiliki oleh warna lainnya.Â
Konsep inilah yang menjadi dasar cara berpikir bahwa kelompok atau masyarakat berkulit putih akan selalu lebih baik dan unggul dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki warna kulit lebih gelap. Bagian yang menggelitik adalah dari begitu banyak hal yang terpengaruh oleh kemajuan zaman dan teknologi, persepsi tentang ras tak pernah berubah dan hanya semakin memburuk dari waktu ke waktu. Persepsi yang tidak berubah ini menjadikan fenomena rasisme terus berkembang bahkan menjadi jokes di kalangan masyarakat khususnya generasi muda.Â
Lelucon ini biasanya dilontarkan kepada teman yang ketara berbeda dari mereka dan umumnya akan menimbulkan konflik yang akhirnya akan berujung pada korban rasisme yang bersalah karena terlalu mengambil hati dengan lelucon yang dilontarkan kepadanya.
Rasisme sebagai Fenomena Internasional yang Sulit Diberantas Â
Jika menelisik isu belakang ini dalam kancah internasional maupun nasional maka rasisme adalah hal yang paling sering dibicarakan, baik secara politik maupun umum, dengan berbagai pandangan yang berbeda. Rasisme yang dulunya hanya dilakukan sebagai "lelucon" oleh kelompok tertentu kepada kelompok lainnya sangat berbeda di masa kini karena rasisme sudah mulai menyentuh ranah politik internasional.Â
Hal yang perlu disoroti adalah rasisme yang dilakukan sebagai "lelucon" saja sudah melawan hukum Hak Asasi Manusia karena memberikan rasa tidak nyaman dan hinaan kepada kelompok tertentu dan kini kondisi rasisme semakin memburuk karena dunia politik internasional mulai "memanfaatkan" fenomena rasisme untuk mendapatkan keuntungan bagi negaranya sendiri dan memberikan intimidasi serta kerugian bagi negara tertentu yang mendapatkan rasisme.Â
Seperti yang terjadi pada awal munculnya COVID-19 yang diyakini oleh banyak pihak merupakan kesalahan yang dilakukan China ketika mengelola penelitian mereka. Kasus rasisme yang muncul pada masa COVID-19 adalah ketika adanya julukan baru yang digunakan di Amerika Serikat untuk menyebut COVID-19 yakni Virus China atau Kungflu China. Julukan ini muncul setelah adanya narasi yang diberikan oleh Presiden Amerika Serikat pada masa itu yakni Donald Trump diikuti dengan beberapa politisi lainnya yang dianggap berisikan rasis terutama kepada masyarakat Amerika Serikat yang berketurunan Asia.Â
Jika dilihat dari segi politik, bukanlah kabar baru bahwa Amerika Serikat dan China adalah duel sejati yang selalu berlomba dalam segala hal. Peristiwa ketika adanya penyebaran narasi rasisme oleh Trump sebagai pemimpin Amerika Serikat pada masa itu menunjukkan bahwa nyata fenomena rasisme digunakan untuk memberikan tekanan kepada negara lainnya dan memberikan "keuntungan" kepada Amerika Serikat karena mampu memberikan rasa tidak nyaman dan gangguan secara verbal kepada negara duelnya tersebut.Â
Tak hanya di bidang sosial-politik, rasisme juga mulai merambah ke bidang olahraga. Dapat kita lihat dalam kasus terbaru tentang rasisme pada cabang olahraga sepak bola yang terjadi di Liga Spanyol kepada Vinicius JR-pemain Real Madrid. Pada laga tersebut Vinicius dihina oleh suporter Valencia dengan kata-kata tak senonoh yang berujung kepada rasisme karena ciri fisik yang dimiliki oleh Vinicius. Hinaan yang diterima oleh Vinicius pada laga tersebut adalah ketika dia dihina "monyet" oleh suporter Valencia sampai Vinicius JR menangis.Â
Menanggapi hal ini Vinicius memberikan pernyataan di media sosialnya berupa "The problem is very serious, and press releases don't work anymore. Neither does blaming me to justify criminal acts. It's not football, it's inhuman". (Vinicius. 2023) Kasus rasisme  yang dialami oleh pesepak bola Vinicius JR didasarkan karena pandangan bahwa Vinicius merupakan orang berkulit gelap yang memang sudah sejak awal menjadi sasaran rasisme oleh kalangan kulit "putih" yang selalu menganggap mereka jauh lebih baik dibandingkan dengan individu yang memiliki kulit lebih gelap.Â