Mohon tunggu...
Katherine Kat
Katherine Kat Mohon Tunggu... Freelancer - Wife, Mom & Self-employed

Tinggal di Toorak, VIC dan Jawa Tengah, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mental Cengeng dan Era Digital

15 Juli 2019   10:07 Diperbarui: 15 Juli 2019   10:30 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perdagangan elektronik atau e-commerce menjadi sebuah fenomena yang muncul setidaknya sejak tahun 1991 lalu, kalau tidak salah Amazon adalah salah satu perusahaan pertama yang melakukan perdagangan elektonik.

Sedangkan di Indonesia sendiri dulu yang cukup terkenal adalah Bhinneka, perusahaan ini mengawali penjualan elektronik sekitar tahun 1993.

Tentu pada masa awal-awal tersebut jumlah transaksi dan penggunanya tidak sebanyak sekarang. Kala itu tidak semua orang punya komputer pribadi apalagi koneksi internet.

Ponsel cerdas jangankan ada di tangan hampir setiap orang, lahir saja belum.

Mereka yang punya komputer dan koneksi internet tak serta merta mau melakukan transaksi elektronik karena tingkat kepercayaannya juga belum sekuat sekarang ini.

Rasanya kalau tidak salah mengingat perdagangan elektronik di Indonesia mulai marak mulai tahun 2013 saat beberapa operator besar seperti Telkomsel dan Bolt menerapkan teknologi 4G diikuti oleh XL dan Indosat di tahun berikutnya.

Memang teknisnya Sitra WiMax adalah yang pertama tapi kala itu jangkauannya masih sangat terbatas dan tidak banyak berdampak pada kecenderungan transaksi secara elektronik di Indonesia.

Semenjak akses 4G mulai merata di Indonesia diikuti makin banyaknya pengguna ponsel pintar makin bergairah pulalah transaksi elektronik di Indonesia.

Mulai dari perdagangan barang lewat marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak dan sebagainya sampai perdagangan jasa seperti Grab atau Go-Jek dengan turunan layanan masing-masing.

Ragamnya pun makin bertambah termasuk jasa pembelian tiket, pemesanan hotel serta lain-lain.

Kalau dari pengamatan sekilas lalu sebenarnya makin meningkatnya kecenderungan belanja/transaksi digital ini makin meningkat pula kesejahteraan ekonomi masyarakat yang memanfaatkannya untuk berjualan barang maupun jasa.

Memang barang yang dijual tak semuanya produksi sendiri, tak sedikit yang bahkan merupakan barang impor. Tapi bukan itu yang hendak disinggung apalagi diulas pada tulisan ini.

Tulisan ini lebih menyoroti pada fenomena pemeringkatan atau penilaian lewat bintang mulai bintang 1-5 misalnya ataupun komentar terhadap produk serta layanan yang diberikan oleh pihak penjual.

Dalam hal ini penulis memiliki pengalaman dari sisi penjual maupun konsumen, baik secara digital maupun fisik. Sebelum terjun sebagai self-employed penulis juga sempat menjadi karyawan di beberapa kantor.

Sebenarnya, yang namanya kerja apapun dan dimanapun kita berkarya akan menghadapi tantangan masing-masing. Tantangan itu bisa dari kompetitor, rekan kerja, supplier, konsumen atau lingkungan sekitaran.

Kondisi itu mestinya diterima dengan biasa, dengan wajar. Tidak puas itu manusiawi, kecewa itu manusiawi tapi jangan pernah bersungut-sungut. Pahami saja bahwa semua itu bagian dari keseharian, pahami saja bahwa watak setiap orang beda, pahami bahwa sudut pandang tiap orang beda, pahami bahwa persepsi setiap orang beda.

Tapi yang paling penting syukuri bahwa kita bisa berkarya dan bekerja itu yang paling penting.

Sayangnya di era digital ini dengan maraknya perdagangan elektronik tidak semua penyedia barang maupun jasa punya pemahaman demikian, tidak cukup punya mental menerima kritikan.

Tak jarang dijumpai entah di marketplace atau raid hailing penyedia jasa atau penjual yang belum-belum menuntut konsumen untuk memberikan bintang 5. Padahal layanan atau barang saja belum diterima.

Tak sedikit pula yang sakit hati ketika produk atau layanannya dikritik. Ujung-ujungnya ngambek dengan balik memberi komentar negatif, enggan melayani konsumen bersangkutan lagi atau yang lebih parah malah berperilaku primitif dengan menteror konsumen.

Sikap-sikap semacam itu merupakan bentuk dari ketidakdewasaan mental, lebih gamblangnya mental cengeng.

Mental cengeng merupakan mental yang merusak bagi produktivitas, alih-alih berkembang dan memperbaiki diri lebih pilih menyikapi situasi secara negatif.

Manusia dengan mental cengeng sulit berkembang karena selalu berfokus pada masalah, alih-alih berusaha menyelesaikan masalah.

Mindsetnya adalah berkutat pada masalah, bukan mindset solutif dan berkembang.

Memang konsumen itu beda-beda ada yang susah, ada yang cuek tapi tak sedikit pula yang fair.

Harusnya sejak awal potensi bakal menghadapi berbagai macam konsumen ini sudah dipahami sebelum penjual atau penyedia jasa memutuskan menerjukan diri di bidang yang pekerjaan yang mau digeluti.

Kalau sekiranya mental yang dimiliki tak cukup dewasa, tak cukup kuat yang cari saja pekerjaan lain yang lebih minim kritikan. Walaupun penulis sendiri tak yakin ada jenis pekerjaan semacam itu (minim kritik).

Sekedar menyalahkan konsumen apalagi memukul rata semua konsumen itu susah, seenaknya sendiri dan sebagainya menunjukkan bahwa diri sendiri belum cukup matang secara emosional.

Pengalaman penulis baik ketika jadi karyawan maupun kerja sendiri tak mungkin lepas dari kritikan. Kritikan itu memang tak menyenangkan, tapi bagaimana kita bersikap terhadap kritikan itu mendewasakan karakter kita sendiri.

Memang ada konsumen yang susah, kadang terkesan cari masalah tapi ya itu resiko yang harus dihadapi apapun bidang pilihan kita.

Jangan pernah punya mindset konsumen itu susah, apalagi berasumsi semua konsumen itu susah. Kalau sudah punya mindset seperti ini lebih baik keluar dari pekerjaan yang sedang ditekuni karena jelas mentalnya sudah salah.

Slogan bahwa konsumen adalah raja memang sudah usang, sudah lampau, tidak relevan lagi. Tapi jangan pernah lupa bahwa konsumen itu adalah manusia, sama seperti kita.

Kalau kita mau dihargai ya hargailah dulu orang lain.

Kalau kita sudah menghargai tapi tidak dihargai ya sudah, mungkin orang itu memang bermasalah yang jelas kita sudah bersikap baik. Evaluasi lah diri sendiri, kalau kritik untuk kita itu benar yang jadikan bahan perbaikan. Kalau kritik itu asal ya sudah diterima saja, ikhlas dan lanjutkan karya kita jangan berkutat pada hal negatif.

Mindset lain yang sering merusak mental adalah mindset bahwa kalau kita sudah bekerja keras, sungguh-sungguh itu artinya harus dihargai.

Pikiran ini salah! Hanya orang cengeng yang berpegang pada mindset bahwa kita harus dihargai.

Orang waras manapun rasanya akan selalu bekerja sungguh-sungguh, orang waras manapun ya pasti bekerja selama masih kuat. Memang begitu adanya hidup di dunia ini.

Jangan merasa bahwa kita adalah satu-satunya yang paling keras bekerja, paling sungguh-sungguh. Jangan berpikir kalau sudah bekerja sungguh-sungguh bahkan sampai kurang tidur lantas orang lain harus menghargai, harus menerima apa adanya.

Orang lain tidak berhutang pada kita, apalagi dalam transaksi posisinya kita jual konsumen beli dengan harga yang disepakati.

Tidak ada yang berhutang kalau masing-masing sudah memberikan prestatie. Dihargai itu bonus, dikasih nilai berapa itu terserah bagaimana konsumen mempersepsi layanan dan produk kita.

Jadi pertanyaannya apakah sekarang kita sudah siap terjun di usaha kita masing-masing? Atau pilih bersikap cengeng?

Kalau mau cengeng mending pakai sarung tidur lalu saja seharian!

Kira-kira Jack Ma atau Jeff Bezos bakal sukses seperti sekarang kalau dulu suka cengeng setiap menerima kritik atau tidak merasa diharga?

Memang tak semua dari kita punya impian besar menjadi seperti Jeff Bezos atau Jack Ma, beberapa dari kita mungkin sekedar bekerja menyambung hidup, mencari sesuap nasi. Tapi yang jelas setiap dari kita punya hutang kepada diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik, dan itu takkan tercapai dengan sikap cengeng.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun