Di trotoar juga berdiri beberapa keluarga muda dengan anak yang masih sangat belia, mungkin harapannya mendapat hiburan dengan menyaksikan karnaval malah dipaksa dapat bonus “pentas” manusia biadab semacam itu. Sungguh disayangkan kalau cuma kecelakaan kecil berlalu lintas imbasnya pertontonan tak senonoh macam itu. Agresif memang perilaku kebanyakan dari kita di jalan raya, namun yang kami saksikan tadi benar-benar kelewatan membuat saya tak percaya sedang berada di Negara berdasar Ketuhanan YME. Bisa-bisanya berperilaku semacam itu terhadap sesamanya, di depan anak-anak, di depan wanita.
Bagaimana mungkin seseorang merasa sikap semacam ini pantas dipentaskan di tengah-tengah manusia beradab? Bagaimana seorang manusia yang hidup di tengah peradaban bisa mempermalukan dirinya sendiri di hadapan umum dengan bertindak biadab seperti itu?
Atau sudah terbiasakah kita dengan adegan tidak beradab semacam itu sehingga lebih terobsesi oleh "jualan media" seputar Pilgub DKI meski tidak tinggal di DKI? Atau lebih sakaw dengan berita-berita menyangkut SARA? Sementara kebiadaban sehari-hari di sekitar kita, hal-hal yang secara langsung bisa dikendalikan lewat pengendalian diri justru diabaikan karena dianggap kurang memuaskan dahaga akan kontroversi?
Mungkin kedepan perlu juga dipertimbangkan test psikologis sebagai syarat memiliki SIM, bukan sekedar kemampuan teknis mengemudi. Sebab faktanya banyak pengemudi yang labil secara emosional berlalu-lalang di jalanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H