Kamis tanggal 19/3/2015 saya menghadiri acara special preview Film Ada Surga di Rumahmu di Blitz Megaplex Grand Indonesia, Jakarta. Acara berlangsung mulai pukul 14.00 di studio 8. Saya terlambat beberapa menit, melewatkan pembukaan dan kata sambutan dari Produser, Ustadz Al Habsy, Aditya Gumay (sutradara) dan Husein Alatas (pemeran utama). Lampu ruang bioskop sudah dimatikan, film sudah dimulai. Saat itu tersisa satu bangku di bagian paling depan, di bawah layar. Mendongak! Haha. Kata penonton di sebelah saya, film sudah dimulai sejak 5 menit yang lalu. Grrr… *marah sama macet parah di Tomang* :D
Film Ada Surga di Rumahmu (ASDR) di produksi oleh Mizan Production. Diangkat dari novel berjudul sama, karya Oka Aurora. Nah, undangan preview film ini datang dari mbak Oka. Saya sendiri sempat kaget, tapi hepi. Ohya, pertama tahu tentang Mbak Oka saat dia jadi penulis skenario di Film Strawberry Surprise. Film yang diangkat dari novel berjudul sama karya sahabat saya Desi Puspitasari.
Apakah saya sudah membaca novel Ada Surga di Rumahmu? Belum! Hihihi Meskipun begitu, saya sudah mengetahui novel ini sejak tahun lalu. Sebetulnya saya sudah lupa pernah tahu tentang buku ini. Bulan Maret ini, sejak melihat beberapa teman mulai membicarakan film ASDR di media sosial, ingatan saya pun kembali. Ya, saya ingat sekitar pertengahan tahun lalu pernah menghadiri sebuah acara halal bihalal di sebuah yayasan. Ustad Al Habsy hadir dan mengisi acara tersebut. Dalam salah satu sesi, ustad menyebut tentang buku ASDR. Katanya, buku itu akan difilmkan. Eh, ternyata inilah film yang disebut-sebut itu. Surga itu begitu dekat. Tapi, mengapa kita sibuk mengejar yang jauh? Kalimat yang tertera pada poster film ASDR itu mengundang saya untuk balik bertanya: Sedekat apa? Film ASDR berkisah tentang hubungan antara seorang anak (Ramadhan) dengan orang tuanya (Buya Karim dan Umi Humairra), cita-citanya, dan gurunya (Buya Athar) yang menginspirasi. Sekilas, cerita film ini nampak sederhana. Namun, setelah diikuti dan dihayati lebih dalam, sajian cerita yang diambil dari kaca mata seorang anak ini, justru memberikan inspirasi dan motivasi yang sangat kuat dalam hal berbuat baik kepada orang tua. Sehingga pada akhirnya pertanyaan “sedekat apa” itu terjawab dengan sendirinya di akhir film.
Alur cerita film dibuat maju, bukan maju maju mundur cantik. Jadi, tidak ribet untuk diikuti. Sesekali memang ada alur mundur, tapi tidak membuat bingung karena hanya mengulang adegan yang sudah diperlihatkan sebelumnya. Adegan, dialog, dan pesan-pesan yang disampaikan sesuai porsinya. Pas. Tidak kurang tidak lebih. Sepanjang film perasaan saya dibuat campur aduk. Kadang saya terharu sampai meneteskan air mata, kadang saya tertawa, dan kemudian lebih banyak dibuat kagum. Sebagai orang Palembang, tentu tidak ada masalah bagi saya untuk mengerti bahasa Palembang yang banyak digunakan dalam dialog di film ini. Bagi non Palembang, jangan kuatir, ada teks berbahasa Indonesia kok di bawah layar. Lagi pula, meskipun banyak dialog bahasa Palembang, tetap bisa dimengerti, karena dialognya juga campur aduk hihi. Misal, saat berbicara dalam bahasa Palembang, ada kata “APA-APA”, padahal kan mestinya “APO-APO”. Bahasa Palembang juga mudah dimengerti. Tinggal ubah saja huruf A jadi O. Kenapa=kenapo. Kemana=kemano. Cinta=cinto. Betina=betino (perempuan) hihi. Udah ah, nanti malah buka kursus bahasa Palembang pulo di sini.
Oka : Saya riset ke Palembang dan napak tilas perjalanan Ustad Habsyi sejak kecil. Dan yang pasti saya mewawancara juga kakak dan adik-adik Ustad. Tapi, yang paling penting, saya berhasil ngobrol sama Abuya dan Umi, inspirasi cerita ini. Kesulitan saya adalah menggambarkan cinta Ustad pada orang tuanya. Buat saya itu sulit karena saya sendiri baru paham ilmu ini setelah bertemu Ustad. Jadi, saya belajar jatuh cinta lagi sama ibu saya, Mbak. Dan itu PR yang masih berusaha saya selesaikan sampai saat ini. K : Bisa diceritakan sedikit bagaimana ceritanya novel ASDR bisa diangkat ke layar lebar? Oka : Wacana membuat film Surga di Rumahmu sudah ada bahkan sejak novelnya ditulis. Ustad Habsyi ingin sekali gerakan cinta orang tua ini disosialisasi melalui film. Tadinya ingin tayang di Hari Ibu yang lalu. Alhamdulillah, Allah memperkenankan film ini tetap tayang walaupun mundur. K : Biasanya versi film tidak sama persis dengan versi novel. Berhubung saya belum baca novelnya, jadi saya ingin tahu pendapat mbak Oka sendiri, apakah keseluruhan isi film sudah mewakili keseluruhan novel? Oka : Betul. Versi film tidak selalu bisa diadaptasi sama persis dengan novel. Karena, diadaptasi seperti apa pun, tetap saja akan ada pembaca novel yang merasa nggak puas. Hehe.. Maka, yang penting adalah masing-masing media -baik buku maupun film- sudah memenuhi misinya, yaitu berkisah dengan baik agar pesannya sampai. Insya Allah, bagi saya film ini telah cukup berhasil menyelesaikan misinya untuk berkisah. K : (dalam hati) SETUJUUU :)) K : Husein memerankan Ramadhan (sosok ustad AlHabsy). Mengapa Hussen? Nah! Haha. Dia penyanyi, rocker pula. Selebriti yang ‘gaul’. Kenapa bukan actor yang ‘kalem’? *kritikan klasik model ini biasanya sering muncul hihihi* Oka : Pada saat saya ditunjukkan hasil casting (ada 2 kandidat kuat saat itu), pilihan saya jatuh ke Husein. Padahal, saya belum pernah menonton satu kali pun penampilannya di TV (soalnya di TV kabel saya nggak ada RCTI .Eh, malah curhat. Tapi kenapa waktu itu saya langsung jatuh cinta sama penampilan Husein, saya juga nggak tau. Tapi, menurut saya, sikap Husein yang jujur apa adanya justru merupakan star qualitynya. K : Di film, saya perhatikan bahasa Palembang banyak sekali digunakan. Apakah di novel juga demikian? Oka : Ya. Tapi, saat di novel, nggak ada wong Palembang macam Mas Aditya Gumay yang bisa memeriksa keabsahan dialog dan dialek. Hehehe... Jadi, untuk dialog dan dialek, film jauh lebih akurat dibandingkan novel. K : Siapa yang paling banyak berperan dalam membantu actor dan actress dalam berbahasa Palembang? Oka : Terutama Mas Aditya Gumay. Beliau wong Plembang. Ustad Habsyi pun wong Plembang. Dan karena syuting sebagian besar dilakukan di Palembang, beberapa cast lokal banyak digunakan, sehingga dialog dalam bahasa ibu bisa sering digunakan K : ASDR dalam 3 kata Oka : Ayah. Ibu. Surga. K : Hal apa yang paling diharapkan dari ASDR, baik sebagai novel maupun film? Oka : Bahwa setelah menonton, siapa pun yang masih punya ayah dan ibu akan bersedia angkat telepon, menanyakan kabar ayah dan ibunya. Lalu menjadikan itu kebiasaan, setiap hari. Lumrah jika anak tahu orang tuanya mencintainya. Tapi tidak sebaliknya: orang tua kita mungkin akan menghabiskan masa tua mereka bertanya-tanya, apakah anaknya mencintainya, walau hanya sedikit. K : Sekali lagi selamat ya mbak. Terus berkarya dan menginspirasi kita semua. Kalau butuh cerita untuk dinovelkan dan difilmkan, saya siap lho diwawancara *dan mbak Oka pun terjengkang* Oka :Hahahaha! Boleh. Tawarannya saya catat, ya. Dan terima kasih banyak untuk wawancaranya. Semoga kebaikannya dibalas Allah. Aamiin. Salam. K : Terima kasih juga mbak Oka :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H