Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebajikan Harga Mati, Bukan demi Dapat Ganti

23 Juli 2022   13:09 Diperbarui: 26 Juli 2022   11:05 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diolah dari Canva 

Kebajikan adalah jalan praktik darma sejati menjadi harga mati bukan untuk mendapat ganti.

"Bagaimana saya bisa membantu orang lain, sementara saya sendiri masih kekurangan?"

"Boro-boro saya bisa menolong orang lain, mau makan aja susah!"

"Buat apa jadi orang baik, kalau hidup tetap susah?"

"Biarlah orang lain yang berbuat kebajikan dulu, saya nanti saja. Masih mau bebas menikmati hidup." 

Kita pasti sering mendengar perkataan seperti ini. Atau  malah sendiri yang mengucapkan?

Secara logika masuk alasannya. Namun, benarkah kebenarannya?

Ya, apabila kita menggunakan logika dan kepintaran benar adanya. Dengan kata lain ego yang bertahta. 

Bagaimana kamu memberi bila sendiri saja masih kekurangan?

Tidak salah.

Bodoh namanya, kalau sendiri saja masih kekurangan, tetapi masih mau memberi. Istilahnya "sok kaya".

Saya punya sedikit pengalaman seperti ini. Setelah memberi uang yang hanya tersisa di kantong kepada seorang ibu dan anak yang lewat di depan saya.

Sang ibu mengatakan ia tidak ada ongkos lagi pulang ke kampung. Tanpa pikir panjang langsung saya merogoh kantong dan memberikan semua uangnya. 

Tidak banyak memang. Hanya Rp15.000. Padahal uang itu sengaja saya simpan untuk modal membeli bahan bakar motor keesokannya. Tidak ada uang simpanan lain lagi.

Lantas pikiran saya bekerja. Menyalahkan diri sendiri. "Kenapa kamu bodoh sekali. Besok kamu mau bekerja pakai apa?" 

Ya, sebagai pramuniaga (salesman) setiap hari saya memang mesti berkunjung ke toko pelanggan. 

Panik. Bagaimana ini?

Namun, apabila kepintaran dikesampingkan dan kebajikan hati yang tersisa menjadi tuan akan lain cerita.

Setelah tarik napas dan tenang. Giliran hati yang menasihati. "Jangan menyesali kebajikan yang telah terjadi. Ikhlaskan saja. Semua akan baik-baik. Percayalah."

Akhirnya saya bisa tersenyum. Ya, semua akan baik-baik saja. Karena apa yang dilakukan adalah kebajikan. Kenapa mesti menyesali? 

Terbukti keesokannya saya tetap bisa berangkat kerja dengan rezeki yang lebih dari apa yang telah saya berikan. Entah dari mana. Yang penting halal.

Kejadian ini juga semakin menyadarkan, bahwa tidak ada alasan untuk tidak bisa berbuat baik walau diri sendiri dalam kekurangan. 

Apabila ego atau logika yang bekerja akan menjadi penghalang. Ada saja pembenaran dan mengasihani diri sendiri.

Dalam hal pengalaman bahwa dengan memberi kita akan mendapat ganti yang lebih besar jangan menjadi pegangan. Bahwa ketika memberi sedikit akan mendapat rezeki yang lebih besar lagi.

Apabila logika ini yang bekerja kita akan mudah tersesat dalam kebajikan. Kebajikan dalam ketakbaikan.

Karena ketika berbuat kebajikan selalu ada harapan mendapat balasan yang lebih banyak.

Ketika apa yang diharapkan tidak jadi nyata. Yang ada timbul rasa kecewa.

Timbul tanya, "Buat apa jadi orang baik, bila takada untungnya?"

Dikatakan bahwa sejatinya hidup adalah praktik darma. Namun, ketika melakukan ada timbul keinginan mendapat balasan, terkenal, atau dihormati. Ini bukan lagi menjadi praktik darma, tetapi berdagang namanya.

Sejatinya yang menjadi harapan dalam praktik darma adalah bahwa dengan kita berbuat kebajikan sekecil apapun akan tumbuh benih-benih kebaikan lainnya. Dengan demikian kebajikan akan tumbuh subur di mana-mana.

Ibarat sebiji benih yang begitu kecil, ketika tumbuh subur menjadi pohon akan menghasilkan banyak buah yang bermanfaat buat banyak orang.

Manakala dari buah yang ada digunakan menjadi benih lagi, malah akan semakin banyak menghasilkan buah. Begitu seterusnya.

Seperti inilah harapan terbaik dari perbuatan baik yang kita lakukan. Bukan berharap hanya kita sendiri yang menikmati manisnya buah kebajikan yang telah kita tabur. 

Karena ada yang lebih penting. Yakni tumbuhnya benih kebajikan demi benih kebajikan lagi.

Kita tidak perlu berkecil hati dengan melakukan kebajikan yang kecil asal setia dan konsisten. Kebajikan ini akan menular atau menjadi inspirasi mata-mata yang melihat atau yang merasakan kebajikan ini.

Sekecil apapun benih kebajikan yang kita semai dengan tulus dan merawatnya dalam kesetiaan, pasti semesta akan berkenan untuk menumbuhkan buah yang besar bagi kehidupan.

Yang perlu diingat juga adalah bahwa kebajikan itu bukan hanya memberi dalam bentuk materi. Banyak kebajikan dalam bentuk lain lagi. 

Selain dengan dana, bisa juga dengan kata-kata, doa, tenaga, bahkan sebuah senyuman. Memberikan segelas air atau mengukur tangan membantu menunjukkan arah. 

Apa lagi?

Memindahkan batu dari tengah jalan. Membersihkan bangkai atau sampah di lingkungan. Memberikan kemudahan pada orang yang lebih tua.

Begitu mudah dan banyak kesempatan untuk menaburkan benih kebajikan di ladang kehidupan yang luas ini. Kapan dan di mana saja bisa.

Yang mengasyikkan kita pun bisa melakukannya sambil menikmati hidup. Kebajikan mestinya bukan sesuatu yang menyusahkan dan menjadi beban.

Semua ini akan menjadi praktik darma bila di dalam diri memiliki misi hidup kebajikan sebagai harga mati. 

Setiap hari bisa menjadi hari yang terbaik untuk melakukan kebajikan. Paling tidak dengan tidak menyakiti orang lain. Itupun sebuah kebajikan.

Jadi?

@cermindiri, 21 Juli 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun