Lupa sudah menjadi penyakit manusia yang dianggap hal biasa. Bahkan bisa jadi lupa dirinya manusia masih dianggap manusiawi. Lupa menjadi pembelaan paling benar. Tidak heran zaman sekarang banyak manusia yang lupa diri.Â
Mendengar seseorang mengatakan lupa boleh dibilang adalah hal biasa dalam keseharian. Begitu banyak lupa yang terjadi. Bahkan ada yang begitu santai mengatakan bahwa ia lupa. Lalu cukup dengan meminta maaf masalah sudah dianggap selesai.Â
Namanya lupa, mau apa?Â
Belum lama ini pengalaman membuktikan. Setelah perjalanan satu setengah jam dari lokasi krematorium ke sebuah lokasi di pinggiran Tangerang dalam bayangan saya sudah menunggu perahu motor yang akan membawa kami ke tengah laut untuk melarungkan abu dan menabur bunga.Â
Ternyata yang terjadi di luar bayangan sama sekali. Perahu motor yang seharusnya sudah berada di tempat tidak ada. Supir dari krematorium tidak tahu masalah ini.Â
Orang krematorium yang berada di lokasi pun mengakui belum ada koordinasi, sehingga belum menyiapkan  perahu.Â
Supir yang segera menghubungi kantornya mendapat jawaban masalah ini terjadi karena lupa.Â
Ketika berbicara dengan adik melalui telepon orang yang mengurus masalah ini hanya berkata "maaf" karena lupa.Â
Ada saudara sampai berkomentar, "Kok urusan bayaran tadi tidak lupa?"Â
Terpaksa kami harus menunggu yang katanya sepuluh menit, ternyata lebih dari itu. Maaf, menunggu, dan tanpa kompensasi apapun. Harus rela menerima. Gara-gara si  lupa.Â