Acap kali kita tertipu oleh persepsi, sehingga melupakan kenyataan.
Bukan rahasia lagi kelangkaan minyak goreng masih menjadi keluhan. Karena bukan rahasia juga minyak goreng itu sudah termasuk salah satu persediaan yang wajib di dapur keluarga Indonesia.Â
Tak heran kelangkaan minyak goreng bisa membuat para istri uring-uringan. Rela antre berbondong-bondongÂ
Bagaimana tidak?Â
Mau membuat gorengan, adanya minyak angin. Beli gorengan  di luaran, gara-gara minyak goreng mahal ukurannya  jadi kerdil. Mana tahan?Â
Serba salah memang. Selera mulut tak bisa dibohongi. Sehari tak makan gorengan mulut sudah terasa lain.Â
Istilahnya, tidak ada minyak goreng di dapur hidup bakal terasa garing.Â
Oleh sebab itu demi minyak goreng sampai rela antre dan main akal-akalan. Suami, anak, ibu atau mertua diajak beli. Karena satu orang hanya dibatasi boleh membeli satu. Pakailah cara seperti itu.Â
Namun, entah lagi nasib lagi baik urusan minyak goreng ini baik-baik saja buat saya. Pas mau beli selalu ada stok. Tidak perlu antre.Â
Belum lama ini saya diajak  ke supermarket yang dekat rumah iseng dengan target  membeli minyak goreng. Buat persediaan saja, karena sebenarnya stok juga masih ada.Â
Begitu masuk, di rak persediaan cukup banyak. Hati langsung lega. Ada pilihan beberapa merek lagi. Â Yang antre tidak ada pula.Â
Selama ini minyak goreng itu memang identik dengan Bimoli. Mau beli minyak goreng sampai bilangnya mau beli Bimoli.Â
Sama halnya dengan pasta gigi, kita sudah terbiasa mengatakan dengan odol. Padahal odol itu adalah merek pasta gigi. Sama dengan orang terbiasa bilang detergen dengan Rinso. Begitu juga dengan Bimoli ini.Â
Selama ini ketika mau membeli minyak goreng di otak itu  sudah terbentuk persepsi harus  Bimoli. Karena Bimoli itu dianggap benar-benar minyak goreng. Apa yang lain bukan?Â
Padahal tidak benar demikian, bukan? Merek lain juga isinya pasti minyak goreng. Soal kualitas juga tak beda sebenarnya.Â
Kami melirik dengan seksama minyak goreng yang tersedia di rak.Â
Istri berkata, "Bimoli gak ada."
Sebelum saya berkomentar, ia lantas mengubah sendiri persepsinya selama ini.Â
"Sama ajalah merek lain juga."
"Ya, sebenarnya sama aja. Sama-sama minyak goreng juga dan bikin makanan garing. Itu ada Sania," saya menunjuk ke arah salah satu merek yang tersedia. Pikiran sambil melayang ke penyanyi yang bernama Sania. Ingat suaranya yang gimana gitu.Â
Tidak ada Bimoli, Sania pun jadi. Zaman susah minyak goreng begini susah juga untuk memilih. Merek apa pun jadi. Sampai-sampai ada yang merek Jujur pun beli.
Soal Bimoni ini, mungkin seperti halnya cinta pertama akan sulit dilupakan. Sama halnya dengan Bimoli, karena menjadi merek minyak goreng dari kelapa sawit yang pertama ada di Indonesia jadinya sulit melupakan.Â
Tak dipungkiri selama ini kita mudah melekat kepada merek. Bahwa barang ini bagus karena mereknya ini. Padahal tak jarang kualitas sama dengan merek lain. Kita hanya lebih terprovokasi iklan atau terpersepsi bagus saja.Â
Tak jarang persepsi memang bisa menyesatkan. Apa yang benar bisa jadi salah dan yang salah bisa menjadi benar. Jadi, persepsi itu bisa adalah omong kosong.
@cerminperistiwa, 20 Februari 2022Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI