Mengapa kita hanya terpaku membaca kata-kata yang terbaca, tetapi abai membaca tanda-tanda?
Seorang teman agak marah kepada saya karena tidak memberikan kabar dukacita atas berpulangnya Papa. Alasan saya tidak ingin membagikan berita duka.Â
Hal ini yang justru membuatnya marah. Apa saya teman yang hanya mau dibagi yang sukacita saja? Demikian tanyanya.Â
Akan tetapi saya tidak mau berdebat urusan ini. Apalagi masih dalam suasana duka begini.Â
Sejujurnya saya juga ingin agak marah, hanya saja merasa tidak perlu. Urusan marah memang bagian hidup, tetapi tergantung bagaimana kita menggunakannya.Â
Mengapa?Â
Semenjak Papa sakit saya sudah memberi kabar. Setelah itu saya hanya fokus merawat beliau. Karena buat saya ini kesempatan untuk membalas budi dengan sedikit berbakti. Kapan lagi?Â
Ketika takdir sudah menghendaki, fokus saya juga tetap ingin melayani dengan yang terbaik. Kapan lagi bila bukan pada saat ini?Â
Saya memang tidak mengabarkan ke banyak orang berita  ini kecuali kepada beberapa saudara atau ada yang menanyakan kondisi Papa.Â
Namun, atas kepergian Papa untuk selamanya dari dunia ini saya sudah memberikan tanda-tanda di media sosial. Berupa gambar daun berguguran, kata-kata "waktunya tiba", dan "anicca". Ketakkekalan.Â
Saya pikir yang bisa membaca tanda-tanda akan paham apa yang telah  terjadi. Bahwa ada kehilangan  atau dukacita yang sedang saya alami.Â
Sayang, tanda-tanda yang ada tak terbaca. Artinya kurang peka. Semua tanda-tanda yang ada (mungkin?) dianggap omong kosong belaka. Â
Apa yang terjadi sesungguhnya persis dengan kehidupan ini. Acap kali alam semesta sudah memberikan tanda-tanda akan terjadi suatu hal, tetapi manusia abai. Menganggap sebagai omong kosong saja. Takpeduli. Masih tak merespon bahkan tanda-tanda yang sudah begitu jelas di depan mata.Â
Herannya ketika sudah terjadi, malah marah dan bertanya. Mengapa ini terjadi? Padahal tanda-tanda sudah diberikan berulang kali.Â
Kita sering kali memang terpaku membaca apa yang terbaca. Abai atau lupa membaca apa yang tidak berwujud dalam kata.
Misalnya sebelum terjadi erupsi pasti alam sudah memberi tanda-tanda berkali-kali. Yang terjadi manusia yang tidak peduli. Seperti yang saya baca, saat Gunung Semeru erupsi sebelumnya sudah memberikan tanda-tanda jauh-jauh hari.Â
Seperti dikutip dari CNN Indonesia, Senin (6/12/2021), pakar Vulkanologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyudi menjelaskan bahwa sejak 90 hari terakhir ada peningkatan kegempaan, itu kurang lebih rata-rata di atas 50 kali per hari. Bahkan ada yang sampai mencapai 100 kali per hari. Ini sebenarnya sudah tanda-tanda, bisa dijadikan prekursor akan terjadinya erupsi yang lebih besar.Â
Saya pikir sesungguhnya banyak peristiwa bencana selama ini yang terjadi selalu memberikan tanda-tanda terlebih dahulu.Â
Begitu juga kondisi  di sekitar atau dengan kondisi teman kita. Mereka karena keadaan tertentu tidak bisa melalui kata, hanya dengan mencoba memberikan tanda-tanda meminta pertolongan. Sayangnya kita tak pandai membaca penanda itu.Â
Tidak heran bila ada tetangga yang hidup sampai kelaparan tidak ada yang peka, sehingga meninggal dunia. Atau teman kita yang harus hidup menahan lapar setiap hari.Â
Setelah kejadian baru kita menyalahkan mereka kenapa tidak meminta pertolongan sebelumnya. Padahal masalahnya kita yang tidak pandai membaca tanda-tanda yang sudah  ada. Di sinilah kita yang tidak bercermin untuk menyalahkan diri sendiri.Â
Bukankah hal ini umum terjadi dalam kehidupan kita?Â
Sesungguhnya setiap waktu kehidupan selalu memberikan tanda-tanda kepada manusia untuk membaca sebagai pelajaran hidup, bercermin, atau berintrospeksi diri.Â
Yang paling dekat adalah tanda-tanda yang ada pada tubuh kita dengan bertambahnya usia.Â
Yang menyedihkan bila menyikapi hanya dengan merawatnya secara fisik, misalnya dengan berolahraga atau mengurangi keriput. Lupa dengan sejatinya petanda yang ada. Dalam hal ini untuk lebih memperhatikan  urusan rohani dengan lebih tekun membina diri lagi.Â
Pada saat tubuh sering sakit, sejatinya sudah memberikan tanda-tanda ada yang salah dengan pola makan atau cara hidup kita. Bisa juga karena tubuh perlu istirahat karena terlalu keras bekerja.Â
Manakala kerap kali mengalami  kemalangan adalah penanda buat kita, agar lebih berhati-hati dan banyak melakukan kebaikan.Â
Kadang kita masih sibuk berbicara banyak hal, padahal lawan bicara sudah menguap berkali-kali. Tidak sadar  itu adalah penanda untuk kita tahu diri. Jangan banyak bicara lagi.Â
Beginilah hidup, kerap kali alam semesta dan melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi sudah memberi tanda-tanda, tetapi kita tidak pandai membaca. Namun, bukannya kita bercermin diri, malah sibuk menyalahkan.Â
Banyak peristiwa yang terjadi sesungguhnya sebagai penanda untuk menyadarkan diri kita, sayang sekali justru kita tidak tahu diri untuk menyadari.
-----
@cerminperistiwa, 21 Desember 2021Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H