Awal dari ketaksengajaan terjalin kesetiaan melahirkan ribuan kata. Berlanjut antara bahagia dan kecewa, suka dan duka sampai hari ini tetap ada. Itulah hubungan saya dan kompasiana. Istimewa. Versi saya.
Masih dalam ingatan dua belas tahun lalu, 22 Oktober tanpa sengaja saat membaca Harian Kompas ada berita tentang ulang tahun pertama Kompasiana. Ada sengatan yang menggoda.Â
Kompasiana, makhluk apa?Â
Sebuah blog ternyata. Ini dia, karena saya sedang mencari media yang sesuai rasa untuk menampung pelampiasan gairah dalam menenun kata-kata.Â
Perjalanan  tidak mudah, ibarat melalui kehidupan  selalu ada kendala. Masalah yang tak terduga. Damai dan perselisihan pun salah sangka. Memunculkan banyak drama. Tidak kalah dengan drama Korea.Â
Namun, lebih dari segalanya di Kompasiana bukan sekadar berbagi dan menyapa melalui kata-kata, tetapi ada yang melampaui semuanya.Â
Ada jumpa saling bertatap muka merasakan  kata-kata yang bersuara secara nyata. Ada tawa dan canda. Ada pelukan mesra. Tidak lagi bersembunyi di balik kepalsuan wajah di dunia maya.Â
Terlalu banyak bila harus menyebut satu per satu nama. Biar setiap yang membaca merasakan bahwa namanya selalu dalam ingatan saya nan istimewa.Â
Apabila harus menyebut nama, yang takbisa dibantah ada dua nama yang tertera. Pak Tjiptadinata Effendi dan Bu Roselina Tjiptadinata. Boleh dibilang paling sering jumpa. Karena setiap beliau berdua ke Indonesia selalu mengundang saya. Kalau tidak salah ingat pernah sekali datang sampai tiga kali jumpa di acara yang berbeda.Â
Kompasiana memang bagai rumah bersama. Yang saling mendukung dan bekerja sama. Asal tahu saja karena Anda--para sahabat-- bagai bara api yang membuat diri ini untuk terus berkarya  dalam kata sambil mengingat cita-cita. Bagaimana berkarya agar kata-kata yang ada  bisa menerangi kegelapan bagai pelita.Â