Kata-kata tentang suatu hal yang kemudian menjadi persepsi tak jarang justru menyesatkan karena pada kenyataan bukan kebenaran. Stigma tentang suku tertentu misalnya.Â
Seorang teman merasa kesal dengan rekan-rekan kerjanya yang dianggap bermuka dua. Di depan bermanis kata, di belakang menista.Â
Di depan bicara tidak apa-apa, di belakang menghina. Bagaimana rasa yang ada bila mengalami hal ini di tempat kerja?
Gelisah dan terluka karena tidak pernah menyangka.Â
Kenapa bisa? Itulah manusia di dunia yang pandai bersandiwara. Muka dan bicara bisa semulia malaikat, tetapi di hati penuh dusta nan jahat.Â
Mungkin karena kesal dan sudah punya persepsi negatif sebelumnya sehingga teman ini menegaskan ternyata benar bahwa suku ini tidak bisa dipercaya. Lain di bibir lain di hati.Â
Karena selama ini keluarga atau teman sering mengatakan hal ini sehingga ia menjadi semakin percaya.Â
Ia yang sebelum itu memiliki  persepsi demikian lalu bertemu kejadian yang demikian semakin jadi kebenaran.Â
Namun, saya mengingatkan kebenarannya bukan demikian. Karena soal tidak dapat dipercaya orang apa  sama saja. Mau suku apapun pasti ada yang punya sifat ini.
Jadi, orang yang tidak dapat dipercaya bukan hanya milik suku tertentu, tetapi semua makhluk yang bernama manusia.Â
Akhirnya, teman ini mau mengakui memang benar apa yang saya katakan. Ingat, kata teman, bukan saya.Â
Namanya persepsi tak jarang memang menyesatkan. Karena satu pengalaman buruk berhubungan dengan suku tertentu lalu memersepsikan hal ini sebagai kebenaran. Bahwa semua orang suku ini memang demikian. Kemudian menjadi stigma  sepanjang hidup. Kasihan.Â
Yang lebih parah dan menyesatkan lagi apa yang dianggap sebagai kebenaran yang kemudian menjadi persepsi bukan karena pengalaman sendiri, tetapi hanya katanya.Â
Nah, ini yang pernah saya alami. Dalam perjalanan kehidupan  saya sendiri punya pengalaman dalam hal ini.Â
Katanya suku ini fanatik, suku itu sama juga demikian. Oleh sebab itu kemudian  menjadi persepsi sehingga ketika bertemu  suku yang dimaksud jadi ngeri-ngeri seram. Jangan-jangan, pikiran demikian bermunculan.Â
Dalam perjalanan hidup selanjutnya justru saya bisa bergaul  dengan berbagai suku yang ada di negeri ini. Dari Aceh sampai Papua dan dari Sulawesi Utara sampai NTT.Â
Yang kemudian  membuka mata dan hati saya bahwa suku yang katanya fanatik itu justru sangat toleran dalam pergaulan yang saya alami sendiri. Ini kebenaran, bukan katanya.Â
Bersyukur bisa kembali ke jalan yang benar dari ketersesatan.Â
Artinya jangan sampai punya stigma bahwa orang dari suku ini adalah begini, dari suku itu begitu.Â
Urusan kebaikan  dan tidak baik suku apa saja sama. Ada yang baik, ada yang tidak. Tidak ada yang semuanya baik dan semuanya jahat.Â
Dalam hal ini manusia itu baik atau jahat bukan ditentukan dari sukunya. Yang pasti setiap manusia dalam suku apapun pasti memiliki nurani dan ego.Â
Masalah mau hidup dengan nurani atau ego yang akan menentukan siapa dirinya. Ini berlaku buat siapa saja.Â
Jadi, pikiran bahwa orang dari suku ini begini, suku itu begitu jangan sampai jadi persepsi yang menyesatkan diri.
Orang baik atau jahat bukan ditentukan oleh suku atau agamanya, tetapi oleh pilihan hidupnya.Â
@cerminperistiwa 27 September 2021Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H