Apa yang saya takutkan terjadi. Ternyata masih ada komentar-komentar yang belum saya baca dan balas. Padahal selama ini sudah merasa melakukan yang terbaik terhadap setiap komentar yang ada.Â
Biasanya sebelum menerbitkan tulisan baru, terlebih dahulu mengecek tulisan sebelumnya. Apakah masih ada komentar  masuk dan belum dijawab.Â
Nyatanya? Merasa benar saja belum cukup menjadi benar.
Oleh sebab itu, di pembuka tulisan ini saya mengatakan tangan ini gemetaran dan dada berdebar  tak karuan ketika membuka satu demi satu tulisan yang ada.Â
Semakin membuka perasaan  takut selalu ada. Karena setiap kali buka ada saja komentar yang terlewatkan. Gawat.Â
Semakin membuka semakin muncul perasaan  bersalah, seakan ini menunjukkan selama ini lebih mementingkan menulis dan menulis, tetapi komentar terabaikan.Â
Perasaan bersalah juga semakin dalam ketika muncul bisikan pembenaran. "Ah, mereka juga sudah lupa dan tidak akan marah. Kenapa mesti pusing?"Â
Bukankah ini namanya menutup rasa bersalah dengan pemikiran sendiri?Â
Selama keberadaan menulis di Kompasiana saya menyadari bahwa saling menyapa di kolom komentar pun merupakan jalan menjalin kebersamaan yang bernilai sekali. Walaupun ada komentar yang sekadar menyapa.Â
Sebenarnya di  kolom komentar sesama penulis pun  bisa lebih saling berinteraksi dengan berdiskusi atas apa yang tertulis. Karena hal ini juga dapat semakin memperkaya tulisan.Â
Kenapa bisa demikian?Â
Pengalaman membuktikan, ketika ada komentar atau saat membalas komentar spontan muncul ide untuk menjadi tambahan pada tulisan. Apa yang sebelumnya tidak terpikir jadi muncul jadi inspirasi.Â