Kemudian  saya juga mengatakan pada anak bahwa kematian itu dukacita atau sukacita semua kembali kepada persepsi yang ada selama ini.Â
Kesedihan, ketika kemelekatan masih ada. Terikat oleh perasaan  sebagai manusia, akibatnya air mata yang bicara. Lupa, bahwa tubuh hanya ibarat rumah bagi jiwa sejati atau roh suci.Â
Namun, ketika memahami sejatinya kematian adalah jalan menuju pembebasan. Selama hidup roh yang ada di dalam tubuh seakan terpenjara.Â
Ibarat seseorang yang terpenjara, lalu mendapatkan pembebasan. Apakah ynag dirasa? Ibarat ulat yang bebas dari kepompong menjadi kupu-kupu. Terbang lepas. Bukankah ini bahagia?Â
Selama ini kita hanya fokus pada fisik yang berbentuk yang terbaring kaku. Melekat pada segala kenangan yang ada sehingga ada rasa tak rela. Kemudian menimbulkan kesedihan dalam linangan air mata.Â
Tentu tidak bisa menyalahkan hal ini, hanya kita terlalu fokus pada yang palsu bukan yang sejati. Inilah yang dinamakan kemanusiawian. Tak bisa terlepas dari ikatan rasa.Â
Sejatinya kematian adalah perjalanan pulang yang indah penuh kerinduan. Berpulang kembali ke kampung halaman. Di mana tempat berasal. Ibarat mudik pada hari raya.Â
Bukankah semua orang sangat berharap untuk mudik ke kampung halamannya sekalipun jauh nun  di sana? Ada larangan pun tak mempan menghadang keinginan yang ada.Â
Mengapa masih ada kerisauan dan ketakrelaan, bila kematian adalah perjalanan pulang ke kampung halaman nan indah?Â
Bisa jadi karena ada misi atau tanggung jawab yang belum diselesaikan sehingga belum siap menghadap.Â
Apakah demikian?Â