Dua bocah itu sedemikian lincah mencomot nasi beserta lauk seadanya, tanpa banyak bicara segera memasukkan ke mulut, lantas dengan lalap mengunyah. Senyum tak lepas-lepas dari wajah mereka. Tiada dusta di antara nikmat yang ada.
Terik matahari seakan tak terasa  di antara cucuran keringat. Betapa nikmat dan berselera tergambar dari bahasa tubuh mereka. Itulah bahagia dan bukan omong kosong. Semua tampak apa adanya. Tiada pencitraan namanya.Â
Pemandangan yang sungguh menggugah buat saya yang melihat dengan mata kepala sendiri. Hadir rasa iri dan tanya. Apakah saya pernah makan senikmat ini?Â
Tempat mereka berada hanya di depan rumah kumuh yang berada di pinggir jalan. Namun  mereka bisa menikmati kemewahan hidup hanya melalui sebungkus nasi dengan lauk seadanya.Â
Sebungkus untuk berdua. Ya, hanya sebungkus. Tanpa terlihat berebut. Mereka saling berbagi dalam satu porsi. Saya yang melihat pun ikut menelan ludah dan menahan nikmat.Â
Mengapa mereka bisa sedemikian menikmati semua ini dalam kondisi yang  bagi sebagian orang mungkin terlihat menjijikkan?Â
Karena mereka hanya memiliki hati yang sederhana. Kesederhanaan hati dan pikiran yang dengan mukjizat menghadirkan kemewahan yang tidak setiap orang dapat menikmati.
Hal yang belum tentu dapat dirasakan oleh mereka  yang berada di ruang nyaman nan mewah dengan segala hidangan berjuta-juta harganya.Â
Segala kenikmatan hidangan yang mengundang selera itu  belum tentu akan terasa nikmat dan menghadirkan rasa bahagia oleh mereka yang berlimpah harta.Â
Mengapa?Â
Mereka  yang berada  di sana belum tentu  memiliki kesederhanaan hati dan pikiran. Apalagi di saat sedang memiliki banyak tekanan, target, dan tumpukan pekerjaan sehingga tidak bisa fokus menikmati hidangan yang tersaji betapa pun lezatnya.Â
Kenikmatan dan kebahagiaan hidup ini bukan pasti dimiliki oleh mereka  yang hidup dalam kelimpahan  harta. Bukan milik mereka yang bergelar dan kedudukan tinggi. Bukan milik mereka yang bisa menikmati hidup dalam kemewahan.
Mereka yang hidup dalam kemiskinan pun bisa menikmati hidup dalam kebahagiaan, walaupun makan seadanya dan di tempat sederhana pula.Â
Sejatinya kenikmatan dan kebahagiaan hidup adalah milik mereka yang memiliki kesederhanaan hati dan pikiran.Â
Kenikmatan dan kebahagiaan hidup itu  milik  mereka yang dapat menikmati setiap momen dalam rasa puas tanpa membandingkan dengan hidup orang lain. Â
Mereka yang tidak pernah lupa berterima kasih dan bersyukur dengan segala keadaannya pasti memiliki kenikmatan dan kebahagiaan hidup.Â
Demikian sederhana. Bila tidak percaya, penanda  belum memiliki kesederhanaan hati dan pikiran ini.Â
Apakah sesederhana ini? Kenyataannya tak dapat dipungkiri tak sedikit banyak orang demi mendapatkan atau merasakan  kebahagiaan sampai perlu melakukan perjalanan jauh  dan mengeluarkan biaya besar. Â
Ada kesenangan dan rasa.puas memang. Apakah semua ini identik dengan bahagia?Â
Saya pikir hal yang dianggap sebagai bahagia bukanlah kebahagiaan yang sesungguhnya, tetapi sekadar memuaskan ego saja.Â
@cermindiri 19 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H