Bau yang setiap hari tercium lama-lama akan tak terasa lagi sebagai bau. Bukankah begitu pula dengan dosa?Â
Baru pembukaan saja gayanya sudah seperti tukang ceramah. Tenang. Ini bukan mau berceramah, tetapi sekadar berbagi pengalaman. Ya, mungkin--hanya mungkin--sambil berceramah.Â
Santai saja.Â
Pernah masuk ke sebuah kamar dan mencium  bau yang terasa  tidak nyaman di hidung?Â
Suatu saat pernah seorang teman berkata, "Kok kamarnya pengap dan gelap ya?"Â
Seketika saya tersentak. "Masa sih?"Â
Saya mencoba membela diri, "Perasaan biasa aja kok. Hidung kamu kali yang bermasalah."
Bau yang sudah menyatu dengan penciuman takkan terdeteksi lagi baunya sebagai hal yang mengganggu.Â
Sama halnya seperti para penjual ikan yang setiap hari mencium bau amis. Bagi mereka bau amis itu biasa saja. Sementara buat yang tidak terbiasa--contohnya saya--akan segera merasa mual. Ini bukan omong kosong. Oleh sebab itu kalau ke pasar tempat yang paling saya hindari yang ada jual ikannya.Â
Sebuah ruangan yang kita tempati berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun pasti sudah sangat akrab kondisinya dengan kita. Termasuk dengan penciuman. Walaupun pada awalnya pasti merasakan bau tersebut tidak nyaman.Â
Bila sudah lama-lama dan terbiasa ada sesuatu yang bau pun kita akan nyaman saja dengan kondisinya. Karena bau tersebut seakan sudah menyatu di indera penciuman. Jadi teman akrab setiap saat.Â
Hal yang berhubungan dengan bau tertentu pasti juga tak terasa lagi. Berbeda dengan mereka yang pertama kali mencium bau tersebut. Pasti akan merasakan hal yang berbeda.
Kondisinya pun akan sama ketika kita berada di kamar lain. Bila ada bau tertentu pasti akan segera terdeteksi oleh penciuman  kita.Â
Sementara orang yang sudah biasa menempati kamar tersebut merasa biasa saja. Tidak ada yang aneh. Walaupun tetap merasakan bau itu ada, tetapi tidak lagi jadi masalah.Â
Sama seperti dosa yang sudah akrab dengan kita. Karena sudah terbiasa melakukan, akhirnya kita tidak merasa itu sebagai dosa lagi. Padahal saat pertama kali melakukan pasti merasa tidak nyaman dan sangat menjadi beban.Â
Setelah setiap hari kita melakukan sehingga terbiasa, selanjutnya tidak merasa ada beban lagi. Seperti sudah menjadi teman.Â
Seperti berbohong. Berapa kali sudah kita berbohong sepanjang hidup ini? Mungkin sedari kecil di antara kita sudah diajari untuk berbohong. Lalu bekerja di tempat yang sangat mendukung kita untuk berbohong.Â
Berapa kali? Apakah berbohong itu dosa, kalau itu untuk kebaikan? Sepertinya saya malah lupa berbohong itu dosa, karena saking sering melakukan.Â
Satu lagi, kesombongan. Tanpa kita sadari bahwa sudah jatuh dalam kesombongan pun masih dengan enteng berkata, "Saya bukan sombong loh, dulu kalau sekali nyumbang jutaan. Banyak orang yang sudah saya tolong, mereka aja pada gak ingat."
Kesombongan itu saya pikir sudah terlalu akrab dengan hidup kita sampai tidak sadar lagi bahwa kesombongan menjadi sifat kita.Â
Ketika kita merasa lebih baik dari orang lain memandang rendah mereka, saat ini benih-benih kesombongan sudah mulai bersemi. Namun kita tidak sempat mendeteksi hal ini sebagai kesombongan. Kita tidak menganggap sebagai dosa.Â
Jangan kita berpikir kesombongan itu hanya milik mereka yang berpunya harta atau kepintaran. Karena yang hidup susah dan bodoh pun tak mau kalah berteman dengan kesombongan.Â
Ada istilah "Sudah miskin, sombong pula." Kurang ajar ini. Anehnya, kalau orang kaya sombong dianggap wajar.Â
Karena urusan kebohongan dan kesombongan sudah terlalu akrab dengan hidup kita sehingga tidak merasa sebagai dosa lagi. Buktinya tenang-tenang saja dan terus melakukan.Â
Tidak heran, bila saya pun yang masih akrab dengan dosa setiap hari tetap merasa nyaman. Tetap merasa tidak berdosa, karena  saya pikir orang yang berdosa itu adalah Anda.Â
@cermindiri 22 Juni 2021Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H