Kerepotan belum berhenti. Nah, ini tandanya saya sedang tidak sadar menulis kata "repot". Sudah berapa kali? Sungguh anak kurang ajar.Â
Siang hari Papa kembali berak. Saya berpikir pasti tidak akan separah pagi kondisinya. Namun tetap penasaran dengan kenyataan yang ada. Pamper penuh kotoran, padahal sejak pagi Papa hanya makan  bubur kacang hijau dan roti tawar dengan porsi mini.Â
Kali ini saya yang berusaha meminta Papa tenang dan diam agar membiarkan  saya yang membersihkan kotoran yang hitam dan lengket yang bila dipandang sekilas sangat jijik.Â
Saya berusaha melap dengan pelan sampai bersih seluruh bagian pantat dan bagian sekitar alat vitalnya dalam kondisi telanjang.Â
Seperti saya bilang saya tidak sempat berpikir jijik atau geli. Saya pikir ini malah berkah. Kapan lagi punya kesempatan seperti ini?
Saya jadi ingat seorang teman yang sampai sekarang masih menitikkan air mata menyesal tidak bisa menemani dan merawat Papanya di rumah sakit karena terkena Covid-19.Â
Oleh sebab itu waktu saya menceritakan hal ini ia mengatakan saya harus bersyukur bisa melakukan apa yang tidak bisa ia lakukan.Â
Berkah itu kembali hadir saat menjelang malam. Belajar dari yang sudah terjadi dua kali sebelumnya kali ini saya lebih cepat membersihkan.Â
Di saat membersihkan saya mendengar Papa mengatakan  bahwa kondisinya jadi bikin repot.Â
Kata-kata yang diucapkan sangat pelan, tetapi demikian tajam menusuk hati. Diam-diam saya bertanya pada diri sendiri.Â
"Apanya yang repot? Â bertanya balik saya dan menambahkan, "kalau Papa mau berak ya berak aja. Gak ada masalah. "
Saya berusaha bersikap kembali ke jalan yang benar.Â
Saya pikir dalam urusan merawat orangtua sebagai anak memang tidak selayaknya merasa repot. Tidak pantas.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!