Lain waktu. Seisi ruang kelas heboh kembali. Masalahnya urusan kentut lagi. Bedanya kali ini tak terdeteksi. Namun aromanya tercium menyengat sedap-sedap bau jengkol.Â
Saling menatap  curiga. Hampir semua memberi kode yang sama, bukan saya dengan tangan  satu tangan lagi sambil  menutup hidung.Â
Tidak ada yang mau mengaku. Siapa yang mau mengaku bila kejujuran akan berakhir menyakitkan. Alih-alih dihargai.Â
Di depan kelas, Pak Guru duduk berusaha setenang mungkin sambil sibuk sendiri seakan tak terjadi apa-apa. Dalam hati berbisik, "Untung suaranya takterdengar."
Akhirnya kehebohan reda dengan sendirinya. Namun masih ada yang bertanya-tanya penasaran. Siapa gerangan si biang bau aroma jengkol itu?Â
Tidak perlu jujur, bila perlu bumbui dengan omong kosong bila mau selamat dari hujat. Sepertinya ini kebenaran yang berlaku, bukan?Â
Tak usah kita melirik ke arah Pak Guru yang sedang sibuk menenangkan diri. Coba apabila kita sendiri yang mengalami. Saat rapat dan perut  tidak enak lalu tak tertahan sehingga kentut tanpa bersuara.Â
Apakah lantas kita berdiri dengan percaya diri dan mengaku baru saja telah kentut dan minta maaf? Atau  lebih baik diam sambil menahan malu daripada mengaku dengan risiko mendapat sorakan memalukan?Â
Bukankah lebih baik tidak jujur daripada harus menerima malu?Â
Sebenarnya kentut itu sama saja dengan batuk. Bedanya satu mengeluarkan suara dari mulut, satu lagi melalui pantat. Sama dari bagian tubuh kita.Â
Orang kalau batuk santai saja takada risih. Namun kalau kentut sangat hati-hati. Takut bersuara.Â