Ada yang minta dikritik, tetapi sesungguhnya ada maksud tersembunyi. Ada yang mengkritik, tetapi sesungguhnya tidak mengerti apa yang ia kritik.
Kenapa Abang nulis tentang omong kosong sih setiap hari? Membosankan! Apa tidak ada topik lain? Penulis tak bermutu Abang ini.Â
Ri, habis minum apa kamu?Â
Bang, aku ini bukan mabuk, tetapi sedang mengkritik Abang!Â
Oh, mengkritik toh. Kok berasa kena hardik dan dibadik ya?Â
Itu kan perasaan Abang. Aku biasa aja. Ngomong apa adanya. Gak ada apa-apanya.Â
Iya, ya. Menurut Abang juga kamu ini rewel banget, Ri. Tidak paham perasaan orang lain. Mau menang sendiri. Sukanya mengkritik. Padahal kritikannya belum tentu benar. Bisa aja karena pengaruh gak senang.Â
Apa?! Abang ini udah menuduh. Masuk rana pencemaran nama baik nih. Aku kritik itu demi kebaikan Abang. Kalau diterima bagus, gak juga ya bagus. Suka-suka Abang aja.Â
Aduh, Ri. Abang cuma ya, cuma memberikan kritik aja. Bukan menuduh. Gak usah pakai acara sewot dong. Biasa aja kali.Â
Ya, udah. Kamu diam. Abang mau nulis omong kosong lagi.Â
Bosaaaaan! Ujung-ujungnya selalu disuruh diam. Ya, apa dayaku hanya sebuah diari. Rela gak rela diperlakukan semena-mena oleh manusia.Â
Hayo, mulai. Ini kok pintar ya kamu, Ri? Bisa ngeluh sambil kritik. Benarnya sih nyindir ini.Â
Cape deh, ngomong sama Abang.Â
Ya, udahlah. Abang mau nulis serius nih.Â
Tidak tahu ini keluhan atau kritikan bahwa kritikan sekarang ini memang menakutkan karena lebih condong kepada untuk menjatuhkan atau mempermalukan atas kesalahan seseorang.Â
Misalnya ada yang salah bicara atau salah mengeja kata bisa jadi bahan kritikan tiada habis. Padahal hal seperti ini kita sendiri bisa melakukannya.Â
Sejatinya kritikan itu untuk menunjukkan kesalahan atau kekurangan agar terjadi perbaikan di masa yang akan datang dengan memberikan solusi. Tentu dengan menjaga kehormatan dan harga diri orang yang dikritik dalam kerendahan hati.Â
Namun hari ini kritikan bisa menjadi kebanggaan untuk menunjukkan kepintaran diri bahwa orang lain bodoh dengan kesalahannya.Â
Repotnya kita selalu memakai tameng mengkritik atas kesalahan pihak lain. Padahal ada maksud lain yang tersembunyi dari apa yang dikatakan.Â
Sebenarnya dalam memberikan kritik itu ada seninya. Bukan semaunya yang berakibat bukan hanya kritikan tidak efektif, tetapi juga bisa menyakiti orang yang dikritik.Â
Misalnya memberikan kritik secara empat mata. Mendahului dengan kata "maaf" atau memberikan pujian terlebih dahulu sebelum mengkritik dan mengakhiri dengan pujian lagi.Â
"Rencana kerja Anda sesungguhnya sangat bagus dan dapat dipahami. Namun berdasarkan pengalaman, data, dan fakta di lapangan pasti akan mengalami kendala. Sebaiknya perlu ada perbaikan. Bila itu dilakukan akan lebih baik lagi."
Bagus  bukan bila demikian, Ri?Â
Bagus, bagus ajalah.Â
Kok gitu? Masih sewot  nih?Â
Nanti kalau aku kasih pendapat Abang gak senang lagi.Â
Wah, kok bisa nuduh Abang begitu?
Tuh, kan!Â
@Diari2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H