Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Cermin Mentertawakan Diri (4): Kebodohan Diri

24 Januari 2021   20:41 Diperbarui: 24 Januari 2021   20:51 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katedrarajawen  _Sewaktu Nasrudin Hoja kehilangan istrinya, ia  tampak tidak begitu sedih. Namun kini saat ia ditinggal mati keledainya, ia begitu sedih sampai berhari-hari masih tersisa. Bisa begitu? 

Seorang tetangga mempertanyakan hal ini. "Kenapa engkau lebih sedih kehilangan keledai daripada istrimu, Hoja?" 

"Kamu tidak tahu, saat aku kehilangan istri tetangga-tetangga datang menghiburku. Ada yang menawarkan saudara perempuannya dan anaknya untuk jadi istriku. Bagaimana aku bisa berlama-lama sedih?" 

Nasrudin melanjutkan, "Namun kini setelah aku kehilangan keledai berharii-hari tak seorang pun menghibur untuk menggantikan keledaiku."

Nasrudin tidak begitu sedih ditinggal istri karena sudah tersedia stok yang baru. Namun kenyataannya ada yang  istri masih hidup, malah dengan gembira mencari yang baru. Siapa ya? 

Akhir pekan libur begini sebisanya hidup jangan dalam ketegangan terus. Ada baiknya dengan santai menikmati yang ringan-ringan membuat hati senang. Paling tidak tersenyum menikmati hidup ini. Menertawakan diri sendiri itu ada nikmatnya. 

Saya tahu soal makan itu jangan terlalu kenyang. Baik ilmu agama maupun  kesehatan sudah mengingatkan hal ini. Namun godaan kenikmatan makanan sering membuat tidak ingat. 

Tambah lagi sedikit tak apa-apa. Itu yang sering terjadi. Bukan sadar malah makin menjadi. Yang enak memang membuat lupa diri, akhirnya  jadi takenak lagi. 

Setelah piring kosong dan perut penuh sesak timbul perasaan  tidak nyaman. Begah. Perlu waktu beberapa lama untuk merasa nyaman kembali. Bayangkan sendiri bagaimana tidak enaknya kalau perut kekenyangan. Apalagi ditambah mau buang angin pun susah. Tambah kencang perut ini. 

Jadi, kenikmatan yang ada lenyap seketika. Hanya oleh nafsu keinginan malah bikin susah. Padahal hanya gara-gara menambah sedikit nasi dan sayur yang dikira masih nikmat itu. Jadi hilang ingatan. 

Begitu juga dengan seorang lelaki yang sudah punya istri baik, setia, dan cantik pula, lalu tergoda untuk  kenikmatan hidupnya dengan menambah satu istri lagi. Betapa indahnya. Secara diam-diam atau terang-terangan. Ini sering saya tonton di televisi. 

Apa yang terjadi? Alih-alih hidup tambah nikmat malah kesusahan dan penyesalan yang didapat. Karena hidup malah dalam  masalah setiap hari. Hidup dalam kebohongan, ketakutan, dan kebingungan. Akhirnya hilang kenikmatan yang didamba dengan  tersisa air mata. Sama saja ini artinya sudah hidup enak malah mencari susah. 

Sebenarnya bukan  ternyata hanya di sinetron, dalam kehidupan  nyata pun ada. Lah, yang di sinetron  itu diangkat dari kisah nyata. Nyatanya aneh juga kadang kepala ini masih  terisi pikiran enaknya kalau punya istri dua. Ada cadangan. Coba? Padahal sudah tahu bakal bikin susah. 

Saya pernah punya bos yang hobinya marah-marah. Kalau pas liburan acaranya jalan-jalan ke luar negeri bisa sepuluh hari. Ia pergi bersenang-senang, saya jadi ikut  tenang. Karena selama ia liburan bisa istirahat tidak menikmati marah-marahnya. Berharap juga setelah pulang ia  lupa dengan urusan marah-marah. 

Eh ternyata, baru menginjak kaki di bandara mukanya juga belum tampak, suara marahnya malah sudah kencang di ujung telepon. Ternyata masih ingat. 

Sama halnya dengan teman, bukan hanya satu. Berarti ada dua, tiga, empat, dst. Setiap mau pergi jalan-jalan mukanya ceria. Mau menyegarkan badan dan pikiran. Katanya. Yang paling sering ke Puncak Bogor atau Bali. Walau saya tidak pernah ikut--tepatnya tidak pernah diajak--tentu saya berharap ketika pulang wajahnya tampak lebih segar bugar. Segala beban lepas serasa hidup baru lagi. 

Anehnya, sewaktu pulang muka malah pada  tegang dan kelelahan. Bagaimana  ini? Capai. Macet. Itu yang terucap. Jadi, jalan-jalan hanya untuk cari kecapaian dan kemacetan? Pakai membayar pula lagi. Akhirnya, malah istirahat lagi sehari di rumah atau masuk kerja dengan badan loyo.

Nah, itu yang persis pernah saya alami juga. Sama ceritanya jalan-jalan. Senanglah diajak bos. Waktu itu ke Yogya, Magelang, dan Sukoharjo.  Ada kebun buah di sana. Punya orang maksudnya. 

Sepanjang jalan saya cukup menderita karena harus terus mengkonsumsi obat anti mabuk. Tak heran sewaktu sampai ke rumah jadi meriang. Ini jadi peribahasa baru: bersusah-susah dahulu meriang kemudian. 

Beginilah hidup sering kita menertawakan kebodohan orang lain, ternyata lebih layak menertawakan kebodohan diri sendiri. Lebih nikmat, tetapi berdosa tidak, ya? 

@cerminmenertawakandiri 24 Januari 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun