Katedrarajawen _Nasrudin Hoja kehilangan cincin dan mencarinya di jalan. Saat temannya lewat dan melihat, ia bertanya, "Engkau sedang mencari apa?"Â
"Cincinku jatuh dan hilang," jawab Nasrudin masih dengan sibuk mencari.Â
"Oh, apa engkau yakin hilang di sini?" teman Nasrudin penasaran.Â
"Tidak sih. Karena cincinku tadi jatuh di dalam gudang." Nasrudin dengan wajah tanpa dosa menjawab.Â
Si teman dengan kesal menyahut, "Bodoh kali, kau ini. Cincin hilang di dalam mencari di luar."
"Bukan bodoh, kawanku. Aku mencari di sini karena tempatnya terang, sedang di dalam gudang gelap." Nasrudin dengan polos menjelaskan.Â
Izinkan saya untuk tertawa, saudaraku. Karena dengan kekuatan batin saya bisa merasakan bahwa sesungguhnya Nasrudin sedang menertawakan perilaku saya selama ini.Â
Saya sering  mencari kebenaran dalam terang daripada menyelami dalam kegelapan. Padahal dalam terang  lebih sering menemukan  kegelapan, tidak menyadari  dalam kegelapan itu lebih mudah menemukan cahaya.
Selama ini saya lebih tertarik mencari kebenaran di tempat yang 'terang'. Berpikir bila  pergi ke tempat ibadah yang bagus itu pasti lebih baik. Tempat ibadah yang nyaman dengan kursi empuk dan sejuk maka pasti Tuhan lebih senang berada di situ. Persepsi saya rumah  ibadah yang mewah bercahaya lebih terang. Ya, jelas lebih terang lampunya.
Saya juga lebih terpikat kepada penceramah yang sudah punya nama. Bila perlu dengan gelarnya yang berderet. Itu akan semakin menambah kepercayaan dan meyakini kehebatan ilmunya.Â
Bila penceramah yang  terkenal pasti apa yang disampaikan lebih terjamin kebenarannya.Â
Oleh sebab itu, saya sering mendengar orang berkata, "Datang ya nanti, yang berceramah  hebat. Diundang  dari luar negeri. Nyesal kalau gak dengar ceramah ya."Â
Spontan di otak ini percaya kalau yang ceramah dari luar itu kebenarannya lebih benar. Apalagi dengan penampilan yang keren, sepatu mengkilap, dan gaya bicaranya yang memikat. Persepsi seperti ini sudah melekat kuat. Seperti lem besi.Â
Itu  yang saya cari. Saya lebih percaya pada omongan mereka. Bandingkan kalau yang berbicara orang biasa, penampilan sederhana, sepatunya penuh debu. Belum berbicara saja pasti dalam hati sudah meremehkan. Saya pasti merasa lebih pintar. Apalagi yang diomongkan hal yang sederhana. Tidak ada bahasa ilmiahnya. Hati spontan gelap.Â
Padahal orang bijak tiada bosan mengingatkan  bahwa  jangan melihat siapa yang bicara, tetapi dengar apa yang dikatakan.Â
"Gelapkan matamu, terangi hatimu." karena mata lebih sering menipu. Apa yang dapat dilihat mata adalah palsu.Â
Tetap saja belum menyadarkan saya. Karena masih  lebih percaya pada kata-kata yang indah daripada kata-kata yang sederhana. Bahasa yang  semakin tinggi maka saya semakin percaya itu  ada kebenaran.Â
Tidak sadar ibarat makan, sumber  yang mengenyangkan itu nasi  bukan bumbunya. Namun saat makan mata saya lebih berselera menatap lauk-pauk dengan aromanya yang sedap.Â
Dalam terang mata ini memang bisa lebih jelas melihat apa saja, tetapi sering justru membuat lupa untuk melihat dengan mata hati. Mata ini lebih tertarik kepada duniawi sehingga lupa menyelami kerohanian.Â
Dalam terang diri ini terlalu melekat melihat kepalsuan lalai memahami yang asli. Lupa diri.Â
Beginilah kondisi dunia saat ini serba terang siang dan malam. Lampu-lampu duniawi menerangi setiap sudut kegelapan. Namun di dalam diri justru sebaliknya. Nurani diri ini yang bercahaya kini setiap sudutnya tertutup kegelapan batin. Â
Akhirnya, tak heran diri ini berjalan dalam terang dunia pun tersesat, tidak mengerti apa sejatinya hidup ini. Lah?Â
@cermindiri 03 Januari 2021Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H