Oleh sebab itu, saya sering mendengar orang berkata, "Datang ya nanti, yang berceramah  hebat. Diundang  dari luar negeri. Nyesal kalau gak dengar ceramah ya."Â
Spontan di otak ini percaya kalau yang ceramah dari luar itu kebenarannya lebih benar. Apalagi dengan penampilan yang keren, sepatu mengkilap, dan gaya bicaranya yang memikat. Persepsi seperti ini sudah melekat kuat. Seperti lem besi.Â
Itu  yang saya cari. Saya lebih percaya pada omongan mereka. Bandingkan kalau yang berbicara orang biasa, penampilan sederhana, sepatunya penuh debu. Belum berbicara saja pasti dalam hati sudah meremehkan. Saya pasti merasa lebih pintar. Apalagi yang diomongkan hal yang sederhana. Tidak ada bahasa ilmiahnya. Hati spontan gelap.Â
Padahal orang bijak tiada bosan mengingatkan  bahwa  jangan melihat siapa yang bicara, tetapi dengar apa yang dikatakan.Â
"Gelapkan matamu, terangi hatimu." karena mata lebih sering menipu. Apa yang dapat dilihat mata adalah palsu.Â
Tetap saja belum menyadarkan saya. Karena masih  lebih percaya pada kata-kata yang indah daripada kata-kata yang sederhana. Bahasa yang  semakin tinggi maka saya semakin percaya itu  ada kebenaran.Â
Tidak sadar ibarat makan, sumber  yang mengenyangkan itu nasi  bukan bumbunya. Namun saat makan mata saya lebih berselera menatap lauk-pauk dengan aromanya yang sedap.Â
Dalam terang mata ini memang bisa lebih jelas melihat apa saja, tetapi sering justru membuat lupa untuk melihat dengan mata hati. Mata ini lebih tertarik kepada duniawi sehingga lupa menyelami kerohanian.Â
Dalam terang diri ini terlalu melekat melihat kepalsuan lalai memahami yang asli. Lupa diri.Â
Beginilah kondisi dunia saat ini serba terang siang dan malam. Lampu-lampu duniawi menerangi setiap sudut kegelapan. Namun di dalam diri justru sebaliknya. Nurani diri ini yang bercahaya kini setiap sudutnya tertutup kegelapan batin. Â
Akhirnya, tak heran diri ini berjalan dalam terang dunia pun tersesat, tidak mengerti apa sejatinya hidup ini. Lah?Â