Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aroma Surga di Dunia, Itulah Kasih Ibu

30 November 2020   12:53 Diperbarui: 30 November 2020   13:08 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katedrarajawen _Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu, Demi Menggapai Surga dan Berkat  Butuh Kerendahan Hati 

Surga ada di telapak kaki Ibu. Jelas. Bukan di telapak kaki kiai, pendeta, biksu, pandit, orang pintar atau ahli surga. Sangat jelas bahwa surga ada di telapak kaki Ibu. 

Mengapa? Bila seorang anak berdosa pada Ibunya, maka aroma surga akan menjauh darinya. Ibu begitu memiliki hak istimewa di dunia ini. 

Terlalu besar jasa seorang Ibu pada anak-anaknya. Rela berkorban apa saja sedari masih di dalam rahim sampai takpeduli dengan dirinya sendiri. Demi anaknya bahagia, tidak peduli dengan kebahagiaannya. 

Oleh sebab itu bila hendak mendapatkan  doa terbaik dan termulia jalan terbaik adalah  sering  kembali ke rumah. Bersujud pada Ibu tercinta. Memeluk tubuh dan bersujud di kakinya. Dalam kerendahan hati dan rasa bakti yang mendalam ini, mencium kaki Ibu bagaikan mencium aroma surga. Pasti berlinang air mata haru dan bahagia. 

Sungguh  ironi  ada anak-anak rela menempuh perjalanan jauh, naik turun bukit, naik turun gunung, dan menyeberang lautan atau melintasi batas benua demi mendapatkan doa untuk  mendapat berkat dan   kemuliaan hidupnya. 

Sering kali kita mendengar cerita anak-anak yang pulang dari tempat suci yang konon penuh kemukjizatan. Apa yang diminta akan menjadi kenyataan. Harta akan bertambah dan semakin baik kesehatannya. 

Rela meluangkan waktu, menguras tenaga, dan tentu tidak sedikit biaya. Semua demi mendapat doa yang ampuh nan mulia itu. Namun melupakan sosok nan mulia yang ada di depan mata yang ada di dalam rumah sendiri.

Sosok yang dianggap sederhana dan tak punya kefasihan dalam berdoa dan terlihat tidak memiliki kesucian apa-apa. Pakaiannya biasa, tidak memakai baju kehormatan seperti orang-orang yang mendoakan jauh di sana. Tampak begitu agung, tak seperti Ibu di rumah. 

Sesungguhnya kemukjizatan doa bukan dalam indahnya  bahasa yang ada. Bukan pada kefasihan dalam alunan suara merdu. Bukan pada panjang mengalunnya doa. 

Indahnya doa dari seorang Ibu adalah kefasihan cinta kasihnya yang takterbatas. Melampaui dalamnya samudra dan luasnya cakrawala. Tak terjangkau logika dan rasa. 

Walau takbisa berdoa dalam bahasa nan indah, setiap kelembutan belaian Ibu adalah doa. Dalam setiap teduh tatapan matanya selalu ada doa. Dalam setiap nasihatnya pun pasti selalu menyertainya dengan doa. Dalam setiap nafasnya  ada mengalir doa-doa yang memberikan kehidupan. Demi untuk mendapat semua itu, seorang anak hanya butuh kerendahan hati untuk berbakti dan bersujud di kaki Ibu. 

Perhatian nan Tulus Ibu Takkan Punah Ditelan Zaman, Seorang Anak Takboleh Melupakan Sepanjang Zaman 

Inilah sejatinya yang menyadarkan saya. Mengapa selama ini selalu ada kerinduan untuk selalu  pulang ke rumah bertemu Ibu. Ada sesuatu rasa yang hilang bila sekian lama tak berjumpa. Apalagi saat Ibu memasuki usia senja yang akan selalu merindukan anak-anak, walau itu tak diwujudkan dalam kata-kata. Sebagai anak yang harus memahami kerinduan Ibu itu. 

Saat kembali dan bertemu Ibu, beliau akan selalu menanyakan kondisi saya. Bila ada makanan enak pasti beliau akan memberikan, walau sebenarnya itu untuk dirinya. Manakala saya menolak agar beliau saja yang makan maka jurusnya adalah mengelak dengan mengatakan tidak suka atau sudah makan. Padahal saya tahu itu cuma alasan. 

Begitu pula bila ada tenggang waktu tak berjumpa, selalu ada kekhawatiran seorang Ibu. Saat saya mengalami sakit, walau dengan terpaksa berbohong mengatakan tidak apa-apa, tetapi Ibu selalu merasa ada sesuatu yang berbeda. 

Ketika saya hanya sedikit tidak enak badan dan ada saudara yang menyampaikan, Ibu menjadi orang yang paling sibuk dan khawatir. Menanyakan, "Apakah ada uang untuk membeli obat?" 

Tak henti berpesan agar saya  jangan lupa minum obat atau bila perlu segera ke dokter. Kadang tak habis pikir sampai umur dewasa ini, Ibu masih tak berhenti juga memperhatikan. Karena itu saya paling takut sakit, tak ingin menjadi beban pikiran beliau. 

Saya memang  tak pernah habis pikir. Mengapa Ibu harus begitu  repot memikirkan kami anak-anaknya yang sudah dewasa dan punya. Tak jarang saya mengingatkan agar jangan terlalu memikirkan kami lagi. Karena kami sudah bisa mengurus diri masing-masing. 

Sebenarnya tujuan saya berbicara seperti itu agar kami tidak menjadi beban beliau lagi. Keinginan saya biarlah Ibu lebih banyak memikirkan dirinya sendiri dan menikmati masa tua dengan nyaman. Urusan anak-anak jangan lagi menjadi beban. 

Kenyataannya tak sesederhana itu. Perhatian Ibu tak pernah berubah. Kasihnya selalu ada. Inilah pembelajaran hidup tak ternilai bagi saya sebagai anak. Kasih Ibu selamanya tak tergantikan. 

Berharap pengajaran kehidupan ini menjadi pelita penerang hidup saya selanjutnya di kala dunia sangat membutuhkan. Karena dunia semakin kehilangan perhatian dan kasih di antara sesama manusia. Dunia memang membutuhkan lebih banyak lagi kasih semurni kasih Ibu. 

@kasihibu, 30 November 2020 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun