Katedrarajawen  _Seperti sudah saya katakan sebelumnya. Saya paling geregetan, kalau ketemu bos yang maunya selalu benar. Bisa jadi juga sama, bos yang ketemu anak buah model saya ini lebih geregetan lagi.Â
Tidak heran, bila saya merasa yang benar, pasti akan menentang atau melawan. Intinya, kalau kita benar, tak perlu takut. Bos memang bukan untuk ditakuti.Â
Sebenarnya bukan hanya berani menghadapi bos yang mau menang sendiri, tetapi juga perlu bijak. Artinya tidak semua perintah bos harus dilakukan.Â
Mentang-mentang bos yang menyuruh, lakukan tanpa berpikir jernih lagi. Dalam hal ini, bos boleh salah, tetapi jangan dengan bodohnya mengikuti.Â
Mengabaikan Perintah Membakar Petasan
Waktu awal kerja, saya pernah diajak bos menagih ke bos peternakan ayam yang punya utang, Â tetapi susah mau bayar.Â
Bersama seorang aparat, saya mendapat tugas membawa 'bom' berupa petasan sebesar bola sepak. Dua biji. Kenapa saya yang diajak? Heran juga.Â
Yang ditagih tetap ngeyel tidak mau bayar. Langsung saya diperintahkan membakar petasan. Tidak pakai pikir lagi, langsung saya ledakan.Â
Efeknya luar biasa, Â ayam-ayam yang ada di area peternakan kaget semua dan menimbulkan suara gaduh.Â
Bos sama bos terus bersitegang. Adu mulut. Tidak ada penyesuaian. Yang ada saling ancam.Â
Bos saya yang sedang dilanda amarah, memerintahkan saya lagi membakar satu petasan yang masih saya tenteng. Aparat juga ikut menyuruh, agar saya  segera menyalakan petasan.Â
Memikirkan kejadian pertama, ada perasaan kasihan pada ayam-ayam itu, sehingga perintah bos pura-pura tidak saya dengar.Â
Saya mencoba menjauh dan mencari  tempat untuk menunggu, sampai petasan itu kemudian dibawa pulang lagi.Â
Dalam perjalanan pulang bos menanyakan petasan yang masih saya pegang. Kenapa tidak membakarya?Â
Saya mengatakan buat kenang-kenangan. Kami akhirnya, malah tertawa semua, walau tagihan tak dapat.Â
Mengabaikan Mengecek BiayaÂ
Saya pernah suatu kali disuruh mengecek langsung ke lapangan biaya-biaya yang diperlukan untuk kirim alat berat ke gunung, tempat penambangan batu.Â
Khusus biaya untuk di sekitar lokasi menurunkan alat berat. Biasa biaya macam-macam. Waktu sudah sampai lokasi, malah saya tidak jadi melaksanakan perintah bos.Â
Masalahnya saya sudah tahu, sebenarnya di lapangan  ada orang kepercayaan bos yang tinggal di sekitar lokasi yang menangani urusan biaya ini.Â
Saya pikir ini artinya bos menyuruh saya mengecek langsung ke lapangan, secara tidak langsung bos tidak percaya dengan orang kepercayaannya sendiri.Â
Seandainya tugas ini sampai saya lakukan bisa saja menimbulkan masalah saya dengan orang kepercayaan bos itu. Bisa terjadi kesalahpahaman. Bisa mengganggu keharmonisan kerja nantinya.Â
Kemudian saya lapor bos apa adanya. Saya tidak mau ada salah paham dengan orang lapangan bos sendiri. Risikonya paling bos marah. Ternyata tidak. Syukurlah. Bosnya sadar kali.Â
Mengabaikan Perintah Menegur
Di tempat pembuangan limbah, saya seringkali menemukan kantong  plastik baru yang semestinya untuk membungkus barang jadi.Â
Kantong plastik baru tersebut, malah buat tempat sampah. Berkali-kali kejadiannya. Pimpinan akhirnya menyuruh saya langsung ke lapangan  untuk mengecek, bila menemukan pelakunya langsung ditegur.Â
Saya menolak, karena bukan tugas saya. Pimpinan sampai mengatakan, bilang saja itu perintah dia. Tetap saya menolak. Alasan saya, itu tugas pimpinan mereka. Bukan saya, sebab saya tidak mau melanggar tata krama kerja.Â
Bisa saja saya lakukan, kalau mau cari muka di depan pimpinan dan mentang-mentang. Masalahnya wajah saya sudah lebih ganteng dari pimpinan itu. Buat apa cari lagi muka yang masih kalah  ganteng.Â
@cerminperistiwa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H