Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Keajaiban Satu Kata Ini

5 Juli 2020   12:42 Diperbarui: 1 Maret 2023   21:56 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Canva /katedrarajawen


Katedrarajawen _Sangat, sangat, sangat sederhana sebenarnya. Kata yang ajaib ini. Sudah terbukti dari dahulu sampai kini. Siapa yang dapat memungkiri? 

Ya. Jangan ragukan lagi. Maaf. Hanya maaf.  Tidak semua orang mampu mengucapkannya. 

Sesungguhnya hanya dengan maaf bisa menyelesaikan banyak masalah. Meredam emosi. Meluluhkan hati. Mata berkaca-kaca. Tidak timbul perkara.  Bikin tersenyum pula. 

Namun, oleh kekerasan hati si maaf terlantarkan menjadi kata tak berharga. Lenyap keajaibannya. 

Maaf. Itu bisa dalam hal meminta maaf dan memaafkan. 

Sungguh memalukan. Ketika bersalah bukannya meminta maaf, malah mencari pembenaran. 

Sungguh menyedihkan, ada yang sudah meminta maaf, tak sudi memaafkan. Lagi-lagi pakai pembenaran. 

Kapan bisa hidup dalam  kebenaran? 

Langsung nyanyi. Kapan ... kapan ... kalau ada kesempatan. Tunggu sampai mati barangkali. 

"Tak perlu tengok kiri-kanan. Lihat ke dalam diri. Bisa juga bercermin. Tersenyumlah. Bila diri sendiri termasuk orang yang sulit meminta maaf itu. Meminta maaf atau memaafkan. Mulai maafkan diri sendiri."

Jangan marah atau salah paham. Kalimat di atas baru dapat bisikan dari entah siapa buat yang menulis. 

Belum lama ini. Saat santai mengantar istri belanja sayur. Terjadilah. Saya menabrak sepeda motor yang seenaknya berhenti di tengah jalan. 

Sambil menahan sakit ingin rasanya segera melampiaskan kemarahan. 

Apa pula ini orang seenaknya berhenti? Memang itu jalan miliki sendiri? Kemarahan masih tertahan. 

Bapak itu menengok ke belakang. "Maaf," katanya. 

Hati yang sudah mulai panas, segera bagai tersiram air pegunungan. Sejuk. Lupa mau marah. Sebaliknya malah jadi khawatir. Karena bapak itu membonceng dua anaknya. 

Ternyata ada sesuatu yang membuat ia tiba-tiba berhenti. Benang layangan. Pantas.  Tentu jadi maklum. Tidak bisa menyalahkan bapak itu lagi. 

Akhirnya kesal dan marahnya  beralih ke benang layangan. Istri yang tadinya diam juga ikut ngomel ke si benang. 

Apa salahnya si benang? 

Tidak bisa mengatakan, maaf! 

@cerminperistiwa 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun