Naik Angkot, Jadi Berarti

Katedrarajawen _Buat yang merasa belum pernah naik angkot, coba sesekali naik angkot. Tidak penasaran. Ada pembelajaran hidup yang tidak bisa dibeli dengan uang. 

Saya mulai naik angkot sejak kecil. Kalau di tempat saya dahulu namanya mobil kurungan. Untuk naik, harus berjalan satu setengah jam. 

Waktu itu sekadar naik. Yang saya pikirkan itu jangan sampai mabuk. Lalu muntah. Malu. 

Saya kalau naik angkot paling suka memilih tempat yang paling pojok. Paling enak bisa menyandar. Bisa melihat setiap penumpang yang naik dan turun. Siapa tahu ada Luna Maya yang mau bikin prank naik angkot. 

Ada yang menarik dan membuat saya heran. Kebanyakan penumpang yang baru naik selalu memilih duduk bagian depan atau dekat pintu. 

Jadi ada 3 penumpang saja yang duduk disitu sudah seperti penuh. Sementara bagian dalam bangku masih kosong. 

Kondisi ini  membuat yang baru mau naik jadi susah. Apalagi orang tua. Seringkali supir harus mengingatkan untuk pindah. Tetap saja masih suka ada yang berkeras tidak mau pindah. 

Sebagian beralasan turunnya dekat. Ada pula yang turunnya sampai terakhir. 

Kalau saya berpikirnya, yang naik duluan harus masuk di bagian dalam. Jadi tidak menyusahkan yang naik belakangan. Mestinya. 

Nah, kejadian ini menyadarkan saya. Ada perasaan tidak nyaman dan malu. Dahulu juga suka memilih duduk di bangku dekat pintu. Selain gampang turunnya. Saya jaga-jaga kalau tiba-tiba muntah. Kelakuan lama. 

Karena keegoisan dan mau enak sendiri. Kita hanya memikirkan diri sendiri. Tiada peduli kesusahan orang lain.

Kita tidak mau susah. Sebaliknya suka-suka  membuat susah. Tidak merasa apa-susah. Susah kalau cara berpikirnya seperti ini. 

Ini sedikit pembelajaran hidup yang sangat sederhana. Namun berarti yang didapat dari urusan naik angkot. Aplikasinya bisa dalam banyak kehidupan yang berhubungan dengan orang lain. 

@cerminperistiwa