Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gelas Pecah, Hati Pecah

22 Juni 2020   16:48 Diperbarui: 23 Juni 2020   11:05 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katedrarajawen_ Adakalanya kita melakukan  kecerobohan. Apalagi anak-anak. Mungkin kita pernah mengalami situasi ketika anak memecahkan sesuatu. Piring atau gelas. Kalau kepala, jangan sampai. 

Apa yang terjadi. Yang pasti tidak mungkin spontan kita akan tertawa. Karena memang ini bukan kejadian lucu. 

Apalagi barang yang pecah itu baru dibeli atau merupakan benda kesayangan. 

Sepertinya akan keluar nyanyian bak seorang rocker. Bisa ceramah panjang lebar. Anak terdiam ketakutan. Tak ada kesempatan untuk menjelaskan. 

Ketika ada kesalahan umumnya reaksi pertama adalah kemarahan. Tanpa mau memahami penyebab kesalahan itu terjadi. 

"Kamu salah, saya marah. Itu wajar." Ini lalu menjadi pedoman kebenaran. Selanjutnya menganggap sebagai  'ayat suci' kehidupan. 

Dengan logika yang sederhana saja sebenarnya kita sudah paham. Kemarahan tidak akan mengembalikan barang yang sudah pecah utuh kembali. 

Yang ada justru ada 'barang' yang lebih berharga menjadi pecah. Hati anak kita. Apa hati seorang anak sebanding dengan sebuah gelas?

Demi membela sebuah benda yang pecah, kita sampai memecahkan hati anak sendiri. Tragis, bukan? 

Ingat pantun lama : Sapu tangan persegi empat. Seseginya di makan api. Luka di tangan dapat dikebat. Tiada obat luka di hati. 

Mengalami kejadian ini, sebenarnya ada hal yang sangat sederhana bisa kita lakukan. 

Semuanya bisa menjadi tenang. Termasuk barang yang pecah pun bisa pergi dengan tenang. 

Biasanya kalau saya memecahkan sesuatu, langsung saya berpikir,"Memang sudah waktunya harus pecah. Sudah takdir. Sama juga seperti manusia."

Langsung dipungut dengan ritual 'kematian' penuh kesedihan. Saat itu juga melakukan 'penguburan'. Yakni buang ke tempat sampah. 

@cerminperistiwa

Inspitasi tulisan Nabila  'Pecahan Cangkir'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun