Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sejujurnya, Orang Tua Perlu Malu pada Anak

9 Juli 2019   06:23 Diperbarui: 9 Juli 2019   11:45 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Canva|katedrarajawen

Sadar tidak sadar, orang tua semestinya malu pada anak, yang justru mengajarkan kejujuran. Kepolosan.

Sementara dirinya mengajarkan kebohongan. Yang paling sering adalah pesan saktinya "Bilang papa tidak ada di rumah kalau ada yang cari!"

Lantas ada yang cari,"Papa ada di rumah, Dik?"

Jawablah si anak,"Sebenarnya Papa ada di kamar. Tetapi  tadi pesan, 'kalau ada yang cari bilang tidak ada.' Gitu, Om."

Percayalah, _lupa-lupa ingat, ini pengalaman sendiri atau bukan_ setelah yang cari pergi, si anak pasti kena marah. Padahal si.anak sudah melakukan hal yang benar. Jujur. Apa adanya. Besoknya, kapok. 

Belum.lama ini, keponakan berminat beli konsol game dari hasil tabungannya. Ia pergi bersama mama dan seorang saudara yang lebih mengerti soal ini.

Saat transaksi semuanya berjalan baik. Ketika sudah berjalan agak jauh dari tempat penjualan dan hendak naik kendaraan, keponakan baru menyadari. Bahwa kaset yang harganya tujuh ratus ribu lebih itu tidak masuk hitungan harganya. Untung dong?

Senang? Tidak! Keponakan malah minta balik lagi. Tentu maksudnya untuk membayar harga kaset yang tidak terhitung itu. Sebenarnya mamanya sudah enggan. 

Buat apa? Namun keponakan ini mengatakan, kasihan dan tidak enak hati. Terus memaksa. Kekeh mau kembali ke toko untuk membayar.

Sebenarnya yang menjual pun belum menyadari ada kelalaiannya saat keponakan sampai di toko. Ketika diberi tahu, baru kaget dan mungkin tidak percaya 

Tentu tidak menyangka masih ada yang mau dengan 'bodohnya' membayar barang yang sudah dibawa pergi. Akhirnya keponakan diberikan sebuah hadiah.

Kalau saya yang mengalami, pasti rasanya kaki ini berat untuk melangkah kembali. Di otak pasti muncul pembelaan dan pembenaran untuk membawa pulang tanpa harus membayar. 

Mungkin malah akan menasehati diri sendiri,"Bukan saya saya ini. Mungkin ini sudah rejeki kali." Selesai tanpa perlu harus merasa bersalah.

Sesungguhnya kalau lagi benar dan sadar, pasti malu pada anak sendiri. Yang mana semestinya  mendukung ia ingin menjadi jujur. 

Bukannya malah menghalangi. Yang di kemudian hari bisa jadi akan menggerus nilai kejujurannya. Memalukan, bukan?

Bisa dibayangkan akibat ketidakjujuran yang terjadi. Bukan hanya menyakiti diri sendiri, yang mungkin tidak dirasakan. Senang di atas kesusahan pihak lain.

Selain pasti menimbulkan kerugian pihak lain. Kemudian  akan menimbulkan kesalahpahaman, saling menyalahkan, keributan, kecurigaan atau orang lain kehilangan pekerjaan. Bisa jadi akan panjang daftar efeknya.

Jadi ingat kata Cak Lontong,"MIKIR!" 

#pembelajarandarisebuahperistiwa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun