Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pada Akhirnya, Tiada yang Sia-sia

3 Juli 2019   20:53 Diperbarui: 4 Juli 2019   00:16 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Canva || katedrarajawen

Gara - gara sistem zonasi dalam penerimaan murid baru sempat membuat bukan hanya emak - emak yang heboh, saya yang bapak - bapak juga termasuk. Sebab anak yang bungsu sudah lulus kelas 3 SMP.

Salah satu kehebohan sistem zonasi masuk sekolah negeri adalah karena nilai ujian nasional (NEM} sudah tidak bernilai sama sekali. Begitu informasinya.

Tak heran ada emak - emak yang bercerita anaknya sampai sakit memikirkan hal ini. Nilai besar, namun kemungkinan tidak bisa diterima di sekolah negeri.

Ada juga emak - emak yang mengeluhkan, sia - sia anak ikut bimbel dengan biaya jutaan. Saya juga sempat berpikir demikian. Karena tiga bulan sebelum ujian, anak saya suruh ikut bimbel. Agak menyesal, sudah keluar  biaya lumayan, tidak ada gunanya.

Hasil atau nilai ujian memang lumayan, di atas rata - rata. Yang kalau tidak ada sistem zonasi masih bisa bersaing masuk SMAN 1 atau 2. Yang dikatakan sekolah favorit.

Benar saja, melihat situasi dan kondisi sehari   sebelum penutupan saya cabut berkas dari pendaftaran di sekolah yang pertama.

Karena dari alamat rumah ke sekolah terdekat saja jaraknya sudah 1,6 km. Sementara yang daftar seribuan. Jauh dari kemungkinan untuk lolos seleksi. 

Bahkan ada teman sekelas anak di SMPN yang daftar di SMAN lain dengan jarak 600 meter saja prediksinya tidak lolos. Ada juga teman lain daftar di SMAN lain lagi dengan jarak 700 pun demikian.

Selain pilihan daftar di swasta, setelah diskusi, pilihannya ada mendaftar di SMKN. Kabarnya penerimaan murid tidak pakai sistem zonasi. Tetapi murni pakai tes. Siapa takut?

Ternyata ada kabar gembira, selain tes, 60 persen nilai diambil dari NEM. Harapan semakin tinggi. Benar saja, akhirnya anak bisa lolos seleksi. 

Padahal pendaftaran di hari terakhir yang waktunya sudah mendesak. Yang mendaftar juga lumayan banyak. Sewaktu tes juga hanya bisa mengisi 65 soal dari 100 yang tersedia. Kehabisan waktu. Saya yakin ini juga pasti terbantu oleh NEM.

Akhirnya, saya pikir tidak sia - sialah NEM yang didapat. Karena sangat membantu, sehingga bisa lolos seleksi.

Seperti halnya dalam hidup, adakalanya kita berpikir sia - sia dengan nilai-nilai kebaikan  yang dilakukan. 

Misalnya, sudah sering menolong orang, malah kena tipu. Sudah jujur, malah disalahkan. Yang berbohong malah dapat pujian. Rajin beribadah, malah kena musibah.

Mengalami hal seperti ini, kadang ada sesal di hati. "Buat apa melakukan hal yang baik, kenyataan malah begini?"

Memang manusiawi bila ada perasaan  demikian yang hadir. Namun, tetaplah tidak boleh lupakan, bahwa segala hal baik yang telah dilakukan pada waktunya tidak akan sia - sia. Sadar atau tidak sadar kita pasti akan menuai hasilnya. Tiada penyesalan.

#Pembelajarandarisebuahperistiwa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun