Gara - gara sistem zonasi dalam penerimaan murid baru sempat membuat bukan hanya emak - emak yang heboh, saya yang bapak - bapak juga termasuk. Sebab anak yang bungsu sudah lulus kelas 3 SMP.
Salah satu kehebohan sistem zonasi masuk sekolah negeri adalah karena nilai ujian nasional (NEM} sudah tidak bernilai sama sekali. Begitu informasinya.
Tak heran ada emak - emak yang bercerita anaknya sampai sakit memikirkan hal ini. Nilai besar, namun kemungkinan tidak bisa diterima di sekolah negeri.
Ada juga emak - emak yang mengeluhkan, sia - sia anak ikut bimbel dengan biaya jutaan. Saya juga sempat berpikir demikian. Karena tiga bulan sebelum ujian, anak saya suruh ikut bimbel. Agak menyesal, sudah keluar biaya lumayan, tidak ada gunanya.
Hasil atau nilai ujian memang lumayan, di atas rata - rata. Yang kalau tidak ada sistem zonasi masih bisa bersaing masuk SMAN 1 atau 2. Yang dikatakan sekolah favorit.
Benar saja, melihat situasi dan kondisi sehari  sebelum penutupan saya cabut berkas dari pendaftaran di sekolah yang pertama.
Karena dari alamat rumah ke sekolah terdekat saja jaraknya sudah 1,6 km. Sementara yang daftar seribuan. Jauh dari kemungkinan untuk lolos seleksi.Â
Bahkan ada teman sekelas anak di SMPN yang daftar di SMAN lain dengan jarak 600 meter saja prediksinya tidak lolos. Ada juga teman lain daftar di SMAN lain lagi dengan jarak 700 pun demikian.
Selain pilihan daftar di swasta, setelah diskusi, pilihannya ada mendaftar di SMKN. Kabarnya penerimaan murid tidak pakai sistem zonasi. Tetapi murni pakai tes. Siapa takut?
Ternyata ada kabar gembira, selain tes, 60 persen nilai diambil dari NEM. Harapan semakin tinggi. Benar saja, akhirnya anak bisa lolos seleksi.Â
Padahal pendaftaran di hari terakhir yang waktunya sudah mendesak. Yang mendaftar juga lumayan banyak. Sewaktu tes juga hanya bisa mengisi 65 soal dari 100 yang tersedia. Kehabisan waktu. Saya yakin ini juga pasti terbantu oleh NEM.