Saya pikir memaafkan itu mudah, dan mengalahkan diri sendiri itu memang sulit. Memang kenyataannya tidak sulit untuk memaafkan diri yang belum mampu mengalahkan diri sendiri.
Tahun ini saya mendapat dua angpao yang sangat berharga sebenarnya. Bukan karena isinya yang tebal, namun justru tipis, Â hanya berisi selembar kertas. Yang berharga itu adalah kata-kata yang tertulis di atas kertas itu. Yang akan menjadi renungan kehidupan atau refleksi diri sepanjang tahun.
Yang pertama berisi tentang belajar memaafkan kesalahan orang lain dan yang kedua belajar untuk mengalahkan diri sendiri. Pas mantaplah.
Untuk memaafkan orang lain, saya pikir bukanlah hal yang sulit. Dalam perjalanan hidup sudah sering belajar memaafkan orang lain. Bukan hanya memaafkan, juga mendoakan. Jadi, Â tidak masalah. Tinggal diusahakan lebih tulus saja.
Tidak terpikirkan ada rencana besar kehidupan dengan mendapatkan renungan tentang memaafkan ini. Sebab kemudian saya dihadapkan kepada kondisi untuk benar-benar bisa memaafkan orang lain yang menyakiti sedemikian dalam.
Sungguh sulit, sulit dan sulit untuk bisa memaafkan ketika dihadapkan pada situasi sedemikian menyakitkan. Timbul keridakrelaan.Â
Mencoba memaafkan, teringat rasa sakit itu. Timbul lagi rasa marah. Mencoba lagi, gagal lagi. Timbulkan rasa kasih. Tetap muncul emosi. Akhirnya yang ada justru memaafkan diri sendiri atas segala kegagalan itu.
Tidak mudah ternyata bila rasa kasih dan keikhlasan itu belum menjadi kewajaran hidup dalam diri ini.
Siapa yang bisa mengalahkan diri sendiri adalah pemenang sejati. Begitu Kebenaran kehidupan yang terukir sepanjang zaman.
Tak peduli berapa banyak mengalahkan orang lain. Namun bila belum mampu menaklukkan diri sendiri, belumlah layak sebagai pemenang atas kehidupan ini.
Bukan hanya soal berapa banyak kali mengalah atas orang lain, sudah mengatakan hal ini sebagai telah mampu mengalahkan diri sendiri. Yang ada justru mengalah demi diri sendiri yang menjadi pemenang.
Sederhananya diri sendiri yang harus dikalahkan adalah keegoan yang hampir bisa dikatakan sebagai penjajah kehidupan manusia. Yang telah menjadi tuan atas tubuh, pikiran dan jiwa ini. Yang membuat manusia tidak sanggup atau bebas lagi hidup sesuai arahan nuraninya.
Yang mana perjalanan kehidupan juga lebih mengajarkan untuk saling mengalahkan sesamanya. Itu yang lebih menjadi prioritas, sehingga lupa urusan untuk menjadi  penakluk sejati dengan mengalahkan diri sendiri.
Pada akhirnya memang hanya bisa dengan mudah mengatakan hal ini : Maaf, belum bisa mengalahkan diri sendiri.
#Pembelajarandarisebuahperistiwa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H