Malam itu saat berkunjung ke rumah orang tua, ada tetangga yang mengalami kecelakaan gara-gara seorang ibu-ibu yang hendak berbelok tidak memberi lampu sein.Â
Karena rem mendadak, akibatnya terjatu dan kakinya tertimpa motor, sehingga bagian dengkulnya ada yang bergeser. Beruntung istri dan bayinya dalam keadaan baik-baik.
Tetangga pada datang berkumpul dan melihat kondisinya yang sebenarnya tidak begitu parah. Namun ketika ibunya pulang mendengar anaknya mengalami kecelakaan. Tidak tinggal diam. Langsung marah-marah.Â
Pertama ke anaknya yang mengalami kecelakaan. Selanjutnya ke menantunya. Intinya menyalahkan dan sampai keluar kata-kata kasar yang tak pantas. Namanya juga marah. Bebas, kan? Masih untung tak ada acara banting HP.
Ya begitulah, ketika mengalami kondisi demikian rata-rata yang terjadi adalah godaan untuk marah-marah terlebih dahulu. Padahal itu tidak ada manfaatnya, buang-buang energi dan malah tambah masalah.
Bagaimana rasanya, orang yang sudah kena masalah ditambah masalah lagi?
Rata-rata orang tua, pimpinan, bos, suami, atau istri bila ada anak, bawahan atau salah satunya yang mengalami masalah tindakan pertama yang datang pasti marah-marah dahulu sebelum tahu masalah yang sebenarnya. Walaupun tahu masalahnya, tetap akan menyalahkan  plus marah sebelum tindakan yang lain.
Bila memakai akal sehat, semestinya selesaikan masalahnya dahulu yang lebih penting daripada hal lain yang bisa dibahas kemudian bila masih perlu.
Orang sudah kecelakaan, malah ditanya macam-macam, kronologinya dari A sampai Z terus sambil dimarahi pula. Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga. Apesnya nian.
Siapa sebenarnya yang benar-benar mau celaka? Mengapa tidak berpikir, dalam kondisi begitu menyalahkan dan marah-marah itu bukan cara menyelesaikan masalah?
Bisa jadi marah itu masuk kategori kesukaan, walau tidak baik tetap dilakukan apalagi di depan umum. Seperti halnya gorengan, tetap disukai walau tidak bagus untuk kesehatan. Hanya pemuasan nafsu dan selera sesaat.