Hari ini atau esok hari kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Namun yang pasti ambisi dan benci akan menggapai tujuannya dengan jalannya sendiri dalam sunyi dengan melakukan apapun jadi. Bisa saja ambisi dan benci ini  ada tersembunyi di dalam setiap diri kita ini.
Kasus kebohongan Ratna Sarumpaet membahas membius kita untuk mengikuti, menyimak, membicarakan, dan menuliskannya.
Banyak sudah tulisan dan pembicaraan yang membahas kasus ini dari berbagai sudut pandang di berbagai media. Seru dan tetap masih menarik serta masih menyisakan tanda tanya. Benarkah tidak ada pihak lain yang merekayasa?
Dengan pikiran yang sederhana dapat disimpulkan sebenarnya. Bahwa kebohongan ini memang benar seperti pengakuan Ratna semata kebodohannya. Bila memang ada yang merekayasa tidak akan semudah ini ketahuannya.
Kebohongan yang ada semata untuk menutupi rasa malu karena melakukan operasi plastik atau sedot lemak di wajahnya yang menimbulkan kebengkakan.
Mungkin karena panik dan juga kebetulan mendapat bisikan, maka mengarang cerita bahwa bengkak yang ada karena penganiayaan.
Dikatakan bahwa cerita bohong ini hanya untuk kalangan orang terdekat. Yang kemudian jadi masalah besar cerita bohong ini lalu dimanfaatkan oleh mereka untuk mencari keuntungan sendiri atau kelompoknya atas nama rasa simpati.
Kemudian dengan jelas pula ada tujuan untuk  melampiaskan rasa benci kepada pihak penguasa. Selain untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintah.  Khususnya ke Presiden Jokowi. Baik secara tersembunyi maupun terang-terangan.
Beruntung nyanyian nurani masih merdu mengalir yang menggetarkan jiwa Ratna Sarumpaet untuk mengatakan yang sebenarnya.
Apa yang terjadi kemudian? Ramai-ramai mereka merasa dibohongi. Padahal sebelumnya justru di antara mereka yang yang dengan  tegas meyakinkan bahwa luka yang ada akibat pemukulan. Karena sudah melihat, mengamati dan meraba secara langsung. Bahkan dengan ilmu telepati.
Jadi bisa dikatakan  Ratna Sarumpaet adalah korban sebenarnya atas ambisi mereka. Seperti kita tahu, justru mereka yang mengaku sebagai korban. Ini seperti maling teriak maling, bukan?
Mereka lalu minta maaf dan mendapat gelar sebagai ksatria dan mencampakkan Ratna Sarumpaet di balik jeruji besi yang panas-dingin. Cuci tangan dan mulut  bersih-bersih.
Mereka ingin  menganggap kasus ini sudah selesai dan Ratna Sarumpaet harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Alih-alih mengerahkan ratusan atau mungkin ribuan pengacara untuk membelanya. Ini ibarat habis manis sepah dibuang. Bukankah ini kekejian yang sesungguhnya seperti yang mereka teriakan?
Bisa jadi sakit yang dirasakan atas perlakuan ini lebih sakit daripada sakit akibat penganiayaan.
Beginilah dunia ini. Bila tidak waspada akan terlena dalam perputarannya. Kebimbangan melanda hati. Emosi yang menjadi kendali. Ambisi menguasai. Melakukan apapun jadi. Kebenaran dipermainkan sesuka hati. Namun kebenaran pula akhirnya akan terbukti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H