Aku berpikir zaman perbudakan sudah tiada lagi. Itu adalah masa lalu dan nasibnya orang kulit hitam dari Afrika. Sungguh kasihan dan kejam menjadi budak itu. Kebebasan terkekang mau menangis air mata pun tiada lagi.
Aku tidak sadar, bahwa dalam kehidupan saat ini, aku justru sedang menjalani menjadi budak kehidupan duniawi. Membudakkan  pada materi. Bahkan menyembahnya melebihi Tuhan Yang Mahatinggi.
Omong kosong macam apa ini? Ini adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Berjam - jam kerja tak merasa rugi. Setiap hari menjalani. Demi apa? Uang, itu yang utama sekali. Namun hanya butuh beberapa saat untuk urusan Tuhan rasanya berat hati.
Bila saat yang sama ada pilihan antara urusan rohani  atau duniawi, urusan menghasilkan uang yang terpilih. Bila pada harinya urusan dengan Tuhan, ada urusan kerja atau bertemu rekan bisnis penting, lagi - lagi yang ada urusan dengan uang yang jadi pilihan hati.
Demi pekerjaan membudakkan diri. Demi bisnis, demi karir, demi bos, yang ujung - ujungnya berurusan dengan uang aku rela membudakkan diri. Demi tanggung jawab aku membela diri. Padahal aku punya kehendak  untuk memilih sesuai nurani.
Dalam kesadaran diri sejenak, sungguh aku ini yang layak dikasihani. Terkungkung dalam perbudakan uang dan menganggap lebih berarti dari segalanya. Tahu uang itu bukan segalanya dan tak akan dibawa mati. Menyesal nanti pun tiada arti lagi.
Pada akhirnya aku bertanya,"Siapa sesungguhnya aku ini?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI