Anak adalah bagaimana pengajaran dari orangtuanya. Ada orangtua yang peduli ada pula yang tidak peduli dengan etika.Â
Ada yang mengajarkan, tetapi tidak peduli bisa atau tidak bisa.
Bisa jadi ada yang peduli, namun lalai mengajarkannya. Bisa jadi pula dirinya malah tak mengerti etika dan tata krama.
Namun pasti ada pula yang mengajarkan anaknya bagai memoles permata.
Saya mengantar seorang anak ke suatu tempat. Terlihat anaknya begitu santun. Kami mengobrol yang ringan-ringan sepanjang perjalanan.
Yang membuat saya takjub adalah ketika sudah sampai tujuan. Anak yang baru berumur sekitar 10 tahun ini dengan sopan mengucapkan,"Terima kasih dan hati-hati ya Om..."Â
Kenapa saya katakan takjub dan luar biasa, padahal kata-kata yang diucapkan sederhana?
Walau sederhana, tetapi seperti memiliki kekuatan yang menggetarkan hati dan membuat terharu. Luar biasa, bukan?
Menurut saya, energi kebajikan di balik kata-kata itu yang menggetarkan jiwa.Â
Orang boleh mengucapkan kata-kata yang sama, namun yang membedakan adalah energi yang mengiringinya.
Ini juga membuat saya memahami, mengajarkan anak bukan sekadar kata-katanya. Tetapi nilai-nilai kebajikan di balik kata-kata yang terucap jauh lebih penting.
Saya jadi menelusuri jejak kehidupan sebelumnya. Entah berapa banyak kali menerima ucapan "Terima kasih", di antaranya sampai mampu menggetarkan jiwa raga.
Yang membuat air mata ini mau menetes. Di mana kelelahan segera berganti gairah, hanya oleh dua kata "Terima kasih".Â
Sebab merasakan kasih di dalam kata yang ada. Inilah kata bukan sekadar kata.
||Pembelajarandarisebuahperistiwa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H