Angin sepoi-sepoi meniup wajahku dan Sang Guru di kala senja itu. Matahari di ufuk sana tampak memerah kekuningan. Suasana begitu damai di Puncak Keheningan.
Sudah menjadi ritual rutin di kala senja duduk dalam keheningan tanpa bicara. Saat-saat untuk melatih diri agar peka  mendengarkan suara nurani.
Berselang tak berapa lama setelah mataku dan Sang Guru terbuka, saat sedang menikmati harumnya udara senja. Datanglah seorang murid membawakan teh hangat yang nan wangi.
Tanpa terduga, segelas teh  tersenggol jatuh dan  terpecah belah berantakan. Apa yang akan terjadi?
Sang Guru tersenyum dan berkata,"Ya, sudah gelas yang masih utuh letakan di meja untuk sahabatku, dan buat satu lagi untukku. Setelah itu rapikan gelas yang berantakan."
Sang murid bergegas. Tak ada pembahasan dari Sang Guru atas apa yang baru terjadi. Ingin rasanya aku marah atau menegur murid tersebut yang kurang hati-hati.
Rupanya Sang Guru sudah paham akan kecerdasan muridnya ini dengan memberikan pengajaran tanpa kata.
Umumnya kita bila mengalami kejadian seperti ini, karyawan, suami, istri, anak, teman atau orang lain yang melakukan kesalahan reaksi pertama adalah memarahi. Prinsipnya, kalau salah harus dimarahi biar tidak mengulangi.
Sebab kita berpikir, dengan marah akan menyelesaikan masalah. Padahal kenyataannya tidak demikian. Lebih sering malah tambah masalah. Yang ada tidak terima dan ribut akhirnya. Paling tidak muncul rasa tidak nyaman kedua belah pihak.
Kalau orang bijak yang pertama dilakukan adalah menyelesaikan masalah terlebih dahulu, tidak pakai marah atau nasehat panjang kali lebar jadi seluas lapangan bola. Karena ini memang yang utama, segera selesaikan masalahnya. Jadi ingat moto Pegadaian "Menyelesaikan masala tanpa masalah".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H